You are currently browsing the category archive for the ‘Uncategorized’ category.







qwe13r234r134 fwe

PENDAFTARAN HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN DI DKI JAKARTA

 

 

Oleh

 

MUHAMMAD NAZARUDIN

 

Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi yang semakin tinggi membuat kebutuhan perumahan di perkotaan semakin meningkat dan di tambah kompleksitas permasalahan lainnya yang ada. Peningkatan kebutuhan akan perumahan di daerah perkotaan ternyata tidak terlepas dari masalah tanah sebagai tempat untuk membangun perumahan itu sendiri, begitu juga dengan Perkembangan kota DKI Jakarta. Sebagai jalan keluarnya pemerintah kemudian menciptakan suatu konsep pemukiman perkotaan dengan pembangunan hunian rumah secara vertikal yaitu dengan Rumah Bersusun (Rusun). Asas yang berlaku dalam pembangunan rumah susun adalah asas hukum adat yaitu asas pemisahan horizontal dimana pemilik tanah belum tentu pemilik bangunan, dengan mengingat keadaan tersebut maka atas bangunan (satuan rumah susun) diberlakukan ketentuan mengenai hukum tanah. Adanya unsur tanah disini memberikan dasar bagi pemerintah sebagaimana diamanatkan untuk mengadakan pendaftaran tanah yang didasarkan pada Pasal 19 ayat (1) Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Pokok –Pokok Agraria dan pada Pasal (1) ayat 1 Peraturan Pemerintah  Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah. Pada Pasal 9 ayat (1) Undang –Undang Nomor 24 Tahun 1997 Obyek pendaftaran tanah salah satunya adalah hak milik atas satuan rumah susun. Penerbitan dan pendaftaran tanda bukti hak milik atas satuan rumah susun juga berbeda dengan penerbitan hak pada perumahan biasa yang bukan rumah susun baik terletak pada perbuatan hukum pemisahannya dan perbuatan hukum jual beli tersebut karena adanya yaitu inti pemilikan bersama dan pemilikan individual. Dari latar belakang itulah muncul permasalahan yang dibahas yaitu a). Bagaimana syarat dan Prosedur Pelaksanaan Pendaftaran Hak baik untuk Pertama kali dan Peralihan hak jual beli atas Satuan Rumah Susun di DKI Jakarta serta b). Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun di DKI Jakarta.

Penelitian kemudian dilakukan dengan pendekatan normatif dan pendekatan empiris yang didukung dengan data primer dari wawancara dengan beberapa instansi dan beberapa pemilik satuan rumah susun yang terkait dengan permasalahan yang hendak diteliti dan juga adanya data sekunder yang meliputi data –data yang diperoleh peneliti dari kepustakaan dan dokumentasi, yaitu berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier.

 

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap pendaftaran hak milik satuan rumah susun menghasilkan gambaran bahwa pelaksanan pendaftaran haknya melibatkan dinas atau instansi terkait, dimulai dari pembuatan akta pemisahan dan kemudian disahkan oleh Gubernur, lalu dengan pendaftaran haknya di kantor pertanahan, Pemisahanya dilakukan sebelum satuan rumah susun dijual yang selanjutnya terbit sertipikat hak milik atas satuan rumah susun atas nama penyelenggara pembangunan, adanya sertipikat hak milik atas satuan rumah susun merupakan syarat untuk dapat menjual satuan rumah susun dan merupakan satu kesatuan prosedurnya yang tak terpisahkan. Sedangkan pendaftaran peralihan haknya untuk mengalihkan hak atas nama penyelenggara kepada pembeli yaitu dimulai dengan permohonan pembeli kepada PPAT untuk pembuatan akta peralihan haknya pertama kali (akta jual beli) yang kemudian didaftarkan di kantor pertanahan dan di lakukan pencatatan perubahan serta dibubuhi atas peralihan hak tersebut pada sertipikat hak milik satuan rumah susun yang akan dialihkan di kantor pertanahan, kemudian diserahkan kepada pemegang hak baru atau kuasanya. Sedangkan hambatan dalam pelaksanaanya pendaftaran hak tersebut diantaranya seperti Adanya Pembangun Rumah Susun yang mempromosikan rumah susun dengan penawaran perdana melalui lembaga pameran, padahal beberapa izin yang diperlukan seperti, izin prinsip, izin lokasi, dan izin bangunan diperoleh serta tanahnya belum ada dan adanya juga pemohon pendaftaran hak dan peralihan haknya yang kurang memahami tentang tata cara dan prosedur pendaftaran haknya tersebut.

 

 

1.1  Latar Belakang

 

Pembangunan nasional Indonesia dalam bidang kesejahteraan masyarakat berusaha menciptakan iklim yang menunjang masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu meliputi pangan, sandang, dan papan (perumahan). Sejalan dengan kebutuhan tersebut sebagai cermin kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan dasar papan (perumahan). Akan tetapi pada saat ini pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun (Biro Pusat Statistik, 2006) membuat kebutuhan perumahan di perkotaan semakin meningkat dan di tambah kompleksitas permasalahan lainnya yang ada.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2006 (Badan Pusat Statistik) saja menyebutkan bahwa terdapat 55,0 juta keluarga dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 241.973.879 juta jiwa, sebanyak 5,9 juta keluarga belum memiliki rumah. Sementara setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan keluarga baru rata-rata sekitar 820.000 unit rumah, berarti dalam hal ini kebutuhan akan rumah terus meningkat tiap tahunnya dan juga pesatnya urbanisasi di kota-kota besar dan metropolitan juga telah menyebabkan permasalahan ketersediaan lahan bagi perumahan.

Peningkatan kebutuhan akan papan (perumahan) khususnya di daerah perkotaan ternyata tidak terlepas dari masalah tanah sebagai tempat untuk membangun perumahan itu sendiri. Di luar perkotaan dimana tanah masih cukup luas untuk dibangun perumahan mempunyai lahan yang lebih cukup dan biaya yang lebih murah untuk menunjang pembangunan perumahan tersebut sedangkan diperkotaan dimana pembangunan semakin meningkat  sementara itu ketersediaan lahan menjadi semakin langka. Kelangkaan ini menyebabkan semakin mahalnya harga lahan di pusat kota dan membutuhkan biaya yang relatif lebih mahal. Akibat langka dan semakin mahalnya tanah di perkotaan tersebut, pembangunan perumahan baru layak huni bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah cenderung menjauh dari tempat kerja (urban sprawl), keadaan ini menimbulkan ketidakteraturan penataan ruang dan kawasan, permasalahan mobilitas manusia dan barang, beban investasi dan operasi, penurunan produktifitas kerja, serta berdampak buruk terhadap kondisi sosial dan lingkungan untuk membangun prasarana lingkungan yang menunjang karena keterbatasan tanah tersebut.

Sehubungan dengan itu peran pemerintah dalam upaya pembangunan perumahan dan pemukiman terus ditingkatkan dalam kebijaksanaan pembangunannya agar diarahkan untuk

Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat, secara adil dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia serta mewujudkan pemukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna (GBHN, Kebijaksanaan Umum Tahun 1999-2004/PROPENAS).

Hal ini harus ditangani secara mendasar, menyeluruh, terarah, dan terpadu oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar kebutuhan perumahan rakyat yang jumlahnya makin meningkat, dapat terpenuhi dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah dan tetap memperhatikan persyaratan minimum bagi perumahan pemukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan sesuai dengan tujuan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009 yaitu Peningkatan pemenuhan kebutuhan rumah yang layak huni serta peningkatan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman (RPJMN Tahun 2004-2009).

Sebagai jalan keluarnya pemerintah kemudian menciptakan suatu konsep pemukiman perkotaan dengan pembangunan hunian rumah secara vertikal yaitu dengan Rumah Bersusun (Rusun), dengan rumah susun sebagai solusi kebutuhan akan perumahan yang layak semakin meningkat dapat terpenuhi dan terjangkau bagi masyarakat sekaligus penghematan dan efisiensi penggunaan areal tanah untuk pembangunannya di daerah perkotaan, agar sesuai peruntukan tata ruangnya, serta dapat meningkatkan daya tampung, mobilitas, dan produktivitas perkotaan. Usaha ini didukung adanya Undang- Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang mulai berlaku tanggal 31 Desember 1985 atau yang dikenal dengan nama Undang –Undang Kondomunium Indonesia dan Peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.

Pada Pasal I ayat (1) Undang –Undang Nomor 16 Tahun 1985 disebutkan Rumah susun adalah “Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian -bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan –satuan yang masing –masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda –benda bersama dan tanah bersama”. Rumah susun inilah merupakan sesuatu hal yang berbeda dimana terdapat kekhususan dibanding perumahan lain yang selama ini dikenal masyarakat Indonesia. Pengertian Rumah susun tersebut berarti bangunan gedung bertingkat yang terbagi dalam satu satuan yang masing -masing jelas batas –batasnya, ukuran dan luasnya.

Rumah Susun yang harus jelas, batas, ukuran dan luasnya secara tidak langsung berhubungan dengan sistem yang dianutnya yaitu adanya bagian bersama, tanah bersama dan benda bersama. Dalam kejelasan tersebut yang dapat dimiliki secara individual adalah satuan rumah susun sedangkan pemilikan secara bersama yaitu atas bangunannya, dan tanahnya, Jadi hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah.

Asas yang berlaku dalam pembangunan rumah susun adalah asas hukum adat yaitu azas pemisahan horizontal dimana pemilik tanah belum tentu pemilik bangunan. Dengan mengingat keadaan tersebut maka atas bangunan (satuan rumah susun) diberlakukan ketentuan mengenai hukum tanah. Adanya unsur tanah disini memberikan dasar bagi pemerintah sebagaimana diamanatkan untuk mengadakan pendaftaran tanah yang didasarkan pada Pasal 19 ayat (1) Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Pokok –Pokok Agraria, Bagian Ke 2 (dua) mengenai Pendaftaran tanah yang mengatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah maka diadakan Pendaftaran tanah di seluruh Wilayah Republik Indonesia. Pada ayat (2) Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Pokok –Pokok Agraria juga dikatakan kegiatan pendaftaran salah satunya meliputi Pendaftaran hak –hak atas tanah, peralihan hak tersebut dan penerbitan surat tanda bukti hak.

Sedangkan pada Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah menyatakan Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Pada pasal 9 ayat (1) Undang –Undang Nomor 24 Tahun 1997 Obyek pendaftaran tanah tersebut ada 6 (enam) salah satu diantaranya adalah hak milik atas satuan rumah susun. Hal inilah yang melandasi bahwa pendaftaran hak atas satuan rumah susun merupakan salah satu objek pendaftaran tanah.

Hal tersebut juga yang melandasi mengapa kegiatan Pendaftaran Hak Satuan Rumah Susun berbeda karena didalamnya terdapat bagaimana dengan pemilikan bagian –bagian yang fungsinya harus digunakan bersama, bagaimana pengaturan dan pembagian benda yang digunakan bersama, bagaimanakah dengan tanah di atas mana bangunan gedung yang bersangkutan berdiri, karena hanya bagian –bagian yang ada di lantai dasar saja yang secara fisik berhubungan langsung, maka obyek utama yang didaftar adalah Satuan hak milik rumah susun. Berdasarkan Peraturan pelaksananya juga dikatakan bahwa pendaftaran hak atas bersama maupun individu bahkan sampai penerbitan sertipikatnya atas satuan rumah susun menempuh prosedur yang sedikit berbeda dibanding Pendaftaran hak -hak atas tanah.

Pada Pemilik juga mempunyai hak milik atas satuan rumah susun menempatkan si pemilik atau si pemegang hak tersebut sebagai pemilik dari fisik satuan rumah susun itu sendiri. Dalam hukum rumah susun tiap pemilik satuan rumah susun memegang tanda bukti hak berupa sertipikat hak milik atas satuan rumah susun. dengan adanya tanda bukti hak itulah maka mulai timbul peran (dalam arti hak, kewajiban dan kekuasaan) setiap pemilik satuan rumah susun dalam kedudukanya sebagai pemilik penuh atas fisik satuan rumah susun yang dimilikinya secara individual dan pemilik bersama.

Penerbitan tanda bukti hak milik atas satuan rumah susun juga berbeda dengan penerbitan hak perumahan biasa yang bukan rumah susun baik terletak pada perbuatan hukum pemisahannya dan perbuatan hukum jual beli tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah juga ditegaskan bahwa tanda bukti hak yang diterbitkan dalam satuan rumah susun didasarkan pada besarnya nilai perbandingan proposional pada masing –masing hak, bagian dan benda bersama yang berarti hal ini juga berbeda dengan bagian –bagian dalam penerbitan hak atas tanah.

Pembuktian Hak Milik Satuan Rumah Susun didasarkan pada tanda bukti hak milik atas satuan rumah susun yang dipunyainya, karena ini merupakan salah satu hak untuk mendapatkan perlindungan hukum (Prokteksi hukum) atas pemilikannya atas suatu satuan rumah susun (Pasal 9 ayat (1) Nomor 16 /1985 tentang Rumah Susun) dan hak untuk mengalihkan hak milik atas satuan rumah susun tersebut yang harus berpedoman tanda bukti hak dipunyainya (Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun).

Pembangunan fisik kota Jakarta semakin pesat, dengan berdirinya banyak gedung bertingkat, dan berbagai fasilitas dan prasarana umum yang kian maju. Perkembangan ini juga di iringi dengan berkembangnya jumlah penduduk ibukota Jakarta, Hasil survey penduduk Jakarta berjumlah 7.578.701 jiwa (Biro Pusat Statistik, 2001). Berkembangnya jumlah penduduk di Jakarta, didukung oleh meningkatnya angka kelahiran dan masuknya para pendatang dari berbagai pelosok nusantara dan daerah di Indonesia, menjadikan Jakarta sebagai kota terpadat di negara yang berpenduduk sekitar 241.973.879 jiwa.

Rumah susun sebagai kebijakan pembangunan perumahan di DKI Jakarta adalah Program yang telah diterapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Hal ini didasarkan pada meningkatnya terus penduduk di Jakarta dan lahan yang diperlukan untuk tempat tinggal semakin tinggi, sedangkan tempat yang tersedia semakin tidak mencukupi. Akibatnya terjadi tidak seimbangnya antara kebutuhan perumahan dengan lahan yang diperlukan.

Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta didukung oleh Peraturan Daerah yang  dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta yaitu Peraturan Daerah Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 1991 tentang Rumah Susun. Hal tersebut didasarkan pada kebutuhan wilayah –wilayah Pemukiman yang meningkat di Jakarta akan kebutuhan perumahan, terutama wilayah yang berpendudukan padat sekaligus mengatasi permasalahan penyediaan lahan yang sempit untuk tempat tinggal, yaitu dengan pembangunan rumah secara vertikal atau rumah susun dan juga pertambahan penduduk yang semakin tinggi, khususnya di kawasan perkotaan memerlukan tersedianya tanah dan fasilitas perumahan yang memadai.

Dalam Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta tersebut ternyata tidak terlepas dengan masalah pokok pelaksanaan pendaftarannya dan juga berdasarkan Proses- nya yang meliputi Pendaftaran hak –hak atas tanah, peralihan hak tersebut dan penerbitan surat tanda bukti hak tersebut. Karena proses pendaftaran hak tersebut menempuh prosedur yang lebih panjang dibanding penerbitan hak atas tanah dan juga adanya proses keterlibatan Pemerintah Daerah DKI Jakarta itu sendiri yang tidak hanya pada Badan Pertanahan Nasional saja. Di Jakarta pulalah pembangunan rumah susun yang terus meningkat dan digalakkan, hal ini membuat proses pendaftaran haknya serta informasi dan tata usahanya tersebut harus seimbang dan berkesinambungan dengan percepatan tersebut.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan judul “ Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Di DKI Jakarta ”.

 

1.2   Permasalahan

 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan yang akan dibahas dalam dalam penelitian ini adalah :

1)      Bagaimanakah Syarat dan Prosedur Pelaksanaan Pendaftaran Hak baik untuk Pertama kali dan Peralihan hak karena jual beli atas Satuan Rumah Susun di DKI Jakarta ?

2)      Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun di DKI Jakarta ?

1.3   Ruang Lingkup Penelitian

 

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup Hukum Agraria dan Hukum Perumahan. Ruang lingkup penelitian ini adalah dalam pelaksanaan Pendaftaran hak atas satuan rumah susun di DKI Jakarta yang meliputi :

1)      Mekanisme pelaksanaan pendaftarannya haknya untuk pertama kali hingga penerbitan sertipikat tanda bukti hak rumah susun dan peralihan haknya atas satuan rumah susun karena jual beli, beserta syarat –syarat apa saja yang harus dipenuhi.

2)      Faktor penghambat dalam pelaksanaannya Pendaftaran Hak Satuan Rumah Susun tersebut.

1.4   Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.4.1        Tujuan Penelitian

 

Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1)      Mengetahui Pelaksanaan Pendaftaran Hak milik Satuan Rumah Susun dan pendaftaran Peralihan hak milik atas satuan rumah susun karena jual beli di DKI Jakarta.

2)      Mengetahui Faktor Penghambat dalam pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Satuan Rumah Susun di DKI Jakarta.

1.4.2        Kegunaan Penelitian

 

Dalam penelitian ini ada kegunaanya yang  mencangkup dua hal berikut ini, yaitu:

1)      Kegunaan teoritis

Dengan kegunaan teoritis ini adalah diharapkan dapat berguna dalam upaya pengembangan pengetahuan teori dan konsep dalam Hukum Administrasi Negara di bidang hukum Perumahan dan Khususnya Hukum Agraria tentang Pendaftaran hak atas satuan rumah susun.

2)      Kegunaan praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan bacaan, sumber informasi bagi semua pihak pengkaji ilmu hukum yang ingin mengetahui khususnya mengenai pelaksanaan Pendaftaran hak atas satuan rumah susun dan menambah kelengkapan sumber data pada literature perpustakaan.

 TINJAUAN PUSTAKA

 

 

 

 

2.1   Pendaftaran Tanah

 

Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara atau pemerintah secara terus menerus dan teratur berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah –tanah tertentu yang ada di wilayah –wilayah tertentu, pengelolaan, penyimpanan dan penyajian bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaanya (Boedi Harsono,2003:72).

Pendaftaran tanah pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA yaitu bahwa pendaftaran tanah merupakan tugas pemerintah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang Pertanahan, sedangkan apa yang dimaksud Pendaftaran tanah dalam Undang –Undang adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya (Pengertian pada Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997). Dalam pendaftaran tanah tersebut, di samping yang diatur dalam Pasal 19 UUPA juga dikenal beberapa ciri dari pendaftaran hak yaitu :

a.       Torrens system, yaitu sistem sederhana, efisien, murah dan selalu dapat diteliti pada akta pejabatnya siapa -siapa yang bertanda tangan pada akta PPAT, demikian pula pada sertifikat hak atas tanahnya.

b.      Asas negatif, yaitu belum tentu seseorang yang tertulis namanya pada sertifikat tanahnya adalah sebagai pemilik yang mutlak.

c.       Asas publisitas, yaitu memberikan informasi pertanahan kepada pemerintah dan kepada umum.

d.      Asas spesialitas, yaitu jelas karena himpunannya adalah desa, disertai pula jalan dan nomor dari jalan tersebut sehingga akan mudah ditelusuri tempatnya tersebut.

e.       Rechtskadaster, yaitu baik PPAT maupun Kantor pertanahan tidak boleh menerima pembuatan akta tanah dan penerbitan sertifikat tanah sebelum dibayarnya pajak balik nama maupun biaya balik nama tersebut.

f.        Kepastian hukum dan perlindungan hukum, yaitu pendaftaran tanah itu bermaksud untuk kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi yang empunya.

g.       Pemastian lembaga adanya instansi yang melakukan recording dan melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu, yang hal ini merupakan pelaksanaan yang telah ditetapkan dalam peraturan.

Sedangkan pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial regristation) dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (maintenance). Adapun obyek Pendaftaran tanah ada beberapa jenis (Terdapat pada Pasal 9 PP Nomor 24 Tahun 1997) yang meliputi :

a.       Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;

b.      Tanah hak pengelolaan;

c.       Tanah wakaf;

d.      Hak milik atas satuan rumah susun;

e.       Hak tanggungan, dan;

f.        Tanah Negara.

Dalam pemegang haknya atas obyek tersebut adalah orang atau badan hukum yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar kepemilikanya.

 

 

2.2   Lembaga Pendaftaran

 

Lembaga Pendaftaran yaitu lembaga yang dibentuk berdasarkan hukum dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dimana sudah ditujuk sebagai pelaksana tugas dan fungsinya tersebut (Arie Sukanti Hutagalung,1985:46). Pemastian lembaga ini yaitu ada dua instansi yang melakukan recording yaitu kantor pertanahan untuk melakukan pendaftaran yang pertama kali dan kemudian pendaftaran berkesinambungan seperti pendaftaran peralihan haknya, sedangkan PPAT membantu Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu sesuai dengan ketentuannya dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan –kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan peraturan perundang –undangan yang bersangkutan.

2.3 Pendaftaran Hak Milik Atas  Satuan Rumah Susun.

2.3.1 Pengertian

Pendaftaran Hak Milik Atas satuan Rumah Susun merupakan bagian dari kegiatan pendaftaran untuk pertama kali (initial regristation) karena pendaftaran terhadap data hak yang belum didaftar. Adapun Pendaftaran untuk pertama kali(initial regristation) adalah kegiatan pendaftaran yangdilakukan terhadap obyek pendaftaran tanahbelum yang didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini (Peraturan Pemerintah ini Pasal 1 ayat (9) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ).

Sistem yang digunakan dalam pendaftaran tersebut sama seperti sistem Pendaftaran tanah yaitu sistem Pendaftaran hak (regristration of titles) karena hal tersebut tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkanya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang sudah didaftar. Pembukuan dalam sertipikat serta pencatatnya pada surat ukur merupakan bukti, bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur.

Pendaftaran Hak atas satuan rumah susun ini merupakan hak –hak baru karena hak –hak tersebut baru diberikan atau diciptakan sejak mulai berlakunya UUPA, bahwa untuk tiap Hak milik satuan rumah susun diterbitkan satu sertipikat yang disebut sertipikat Hak Milik Satuan Rumah Susun, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989, dimana dalam hal ini menurut Boedi Harsono (2003:475) Sertipikat yaitu surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk Hak atas tanah, Hak pengelolaan, tanah wakaf, Hak milik satuan rumah susun dan Hak tanggungan, yang masing –masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Bahwa Hak Milik Satuan Rumah Susun selain meliputi pemilik atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, juga pemilikan bersama atas tanah –bersama, bagian bersama dan benda bersama. Maka sertipikat Hak Milik Satuan Rumah Susun tersebut selain merupakan alat bukti hak bersama atas tanah bersama, bagian bersama, dan benda bersama yang bersangkutan yang didasarkan pada nilai perbandingan proposionalnya ( Boedi Harsono,2003:hal 354).

 

 

2.3.2 Kegiatan Pendaftaran

Dimana kegiatan dan pelaksanaan pendaftaran pertama kali (initial regristation) ini meliputi :

a.      Pengumpulan dan pengolahan data fisik

yaitu kegiatan dalam pengukuran dan pemetaan atas hak milik, yang meliputi pembuatan peta dasar pendaftaran, penetapan batas bidang –bidang, pengukuran dan pemetaan bidang –bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, pembuatan daftar bidang dan pembuatan surat ukur.

b.     Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya

Hal ini didasarkan pada perbedaan antara hak -hak baru dengan hak –hak lama, sebagai syarat pendaftaran hak tersebut dimana hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta pemisahan. Pembukuanya merupakan pendaftaran pertama kali, biarpun hak atas tanah tempat bangunan gedung rumah susun yang bersangkutan berdiri sudah terdaftar (Boedi Harsono,2003: hal 495), sedangkan pembukuan hak pada hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukanya dalam buku tanah yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan, dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pada surat ukur. Pembukuan hak tersebut dilakukan berdasarkan alat bukti dan berita acara pengesahan (Boedi Harsono,hal 2003: 502).

c.      Penerbitan sertipikat

Sertipikat sebagai surat tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Sertipikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau pihak lain yang dikuasakan olehnya.

d.     Penyajian data fisik dan data yuridis

Bahwa Penyajian data fisik dan data yuridis ini untuk memberikan  kesempatan kepada pihak –pihak yang berkepentingan dengan mudah untuk memperoleh data fisik dan data yuridis bidang pertanahan yang diperlukan. Di mana Kantor Pertanahan menyelenggarakan tata usaha pendaftaran tanah yang berupa penyajian daftar umum, yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama dimana penyajian data fisik dan data yuridis ini terdapat pada ketentuan dalam pasal 187 s/d 192 Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 1997.

e.      Penyimpanan daftar umum dan dokumen

Dokumen –dokumen yang merupakan alat pembuktian yang telah digunakan sebagai dasar pendaftaran, diberi tanda pengenal dan disimpan di kantor pertanahan atau tempat lain yang telah ditetapkan oleh menteri. Mengenai penyimpanan data dan dokumen ini terdapat pada ketentuan dalam Pasal 184 s/d 186 Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 1997.

2.4   Pendaftaran Peralihan Hak Milik Satuan Rumah Susun

2.4.1   Pengertian

Pendaftaran peralihan hak milik satuan rumah susun merupakan bagian dari kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, dimana dilakukan apabila terjadi perubahan data fisik atau data yuridisnya atas obyek pendaftaran tersebut yang telah didaftar. Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian (Peraturan Pemerintah ini Pasal 1 Ayat 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Peralihan inilah sebagai perbuatan hukum dalam Pendaftaran Hak Atas satuan Rumah susun karena didalamnya adanya perubahan data fisik ataupun data yuridis dalam pendaftaran tersebut.

2.4.2 Kegiatan Pendaftaran

 

Pada Pasal 12 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 kegiatan dan pelaksanaan pendaftaran peralihan hak ini meliputi :

a.Pendaftaran Peralihan dan Pembebanan Hak

Ditetapkan, bahwa peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui

1.      jual beli;

2.      tukar menukar;

3.      hibah;

4.      pemasukan dalam perusahaan, dan;

5.      perbuatan hukum pemindahan hak lainya.

Kecuali pemindahan hak lainya tersebut, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang –undangan yang berlaku. Pembebasan hak tanggungan pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, pembebanan hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan atas hak milik, dan pembebasan lain pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan, dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b.      Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainya. Hal ini terdiri dari :

1.      Perpanjangan Jangka Waktu Hak Atas Tanah

2.      Pemecahan, Pemisahan dan Penggabungan Bidang Tanah

3.      Pembagian Hak Bersama

Pembagian hak bersama atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun menjadi hak masing-masing pemegang hak bersama didaftar berdasarkan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut peraturan yang berlaku yang membuktikan kesepakatan antara para pemegang hak bersama mengenai pembagian hak bersama tersebut.

4.      Hapusnya Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

5.      Peralihan dan Hapusnya Hak Tanggungan.

6.      Perubahan data Pendaftaran tanah berdasarkan Putusan atau Penetapan Pengadilan.

7.      Perubahan nama.

2.5   Rumah Susun

2.5.1    Hak Milik Satuan Rumah Susun

Hak milik berdasarkan Pasal 20 UUPA dinyatakan bahwa, hak milik adalah hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh yang dalam penjelasan pasalnya yaitu mengenai tidak adanya batas waktu penguasaan tanahnya dan luas lingkup penggunaanya yang meliputi baik untuk di usahakan ataupun digunakan sebagai tempat membangun sesuatu.

Hak Milik dalam hukum Agraria tersebut mempunyai ciri –ciri :

a.       Turun temurun;

b.      Terkuat dan terpenuh yang dapat oleh subyek hukum diantara hak –hak lain;

c.       Tidak terbatas oleh waktu;

d.      Dapat beralih dan dialihkan;

e.       Hak milik hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia dan badan hukum yang berdiri berdasarkan hukum Indonesia, dan;

f.        Dapat dijadikan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Dalam hal ini Hak milik juga dikatakan sebagai suatu hak kebendaan yang paling sempurna, terkuat dan terpenuh oleh (Prof.Purnadi Purbacaraka,S.H.1985:hal 7-8,10-11) dapat dijelaskan artinya:

a.       Pemegang hak milik atau pemilik benda yang bersangkutan dapat melakukan tindakan apa saja terhadap benda yang menjadi miliknya itu, misalnya:

1.      menguasai atau menggunakan sendiri;

2.      meminjamkanya untuk orang lain (dengan atau tanpa imbalan );

3.      memberikan/ menghadiahkan/ mengibahkanya kepada orang lain;

4.      menjualnya (secara kontan ataupun kredit);

5.      mewariskannya kepada ahli warisnya apabila ia kelak meninggal;

6.      menjadikanya sebagai jaminan hutang, atau bahkan

7.      menyia nyiakan atau memusnahkannya, sepanjang tindakannya ini tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku dan tidak merugikan pihak manapun juga;

b.      Hak milik yang jangka waktunya tidak terbatas, karena dapat dipegang secara turun menurun dari generasi ke generasi yang satu ke generasi berikutnya.

Sedangkan untuk istilah Kondomunium menurut Ridwan Halim.S.H (2000:79)  “Kondomunium” berasal dari Hukum Romawi, yang istilah aslinya adalah “Condomunium”, yang secara etimologis terdiri dari 2 (dua) perkataan, yaitu “co” yang artinya bersama dan “dominium” yang artinya milik atau hak milik. Jadi, secara nominalis atau menurut arti perkaranya, kondominium ialah suatu hak milik bersama. Pada hak milik tersebut apabila di lekatkan dengan bentuk hak milik atas satuan rumah susun dan Kondomunium ternyata merupakan salah satu wujud (species) dari hak milik bersama (mede eigendom) atau (genus), karena pada hal ini persoalan hak milik yang bersumbu pada faktor macam –macamnya hak milik bersama itu sendiri. Berhubung macam itulah yang akan menentukan keadaan hubungan hukum antara para pemilik (medeeigenars) dengan hak milik mereka tersebut dan juga hubungan antara mereka satu sama lain (Ridwan Halim.S.H, 2000:81).

Adapun macam –macam hak milik bersama (mede –eigendom) yang secara fundamental menentukan keadaan hubungan hukum antara para pemilik (mede-eigenars) tersebut pada dasarnya dapat diketahui melalui pembagian dan pembedaan berikut. Bila dipandang dari sudut keadaan penguasaanya secara fisik, maka hak milik bersama itu dapat dibagi dan dibedakan atas :

1)      hak milik bersama dengan penguasaan fisik secara bersatu atau bersama pula (samengestelde mede-eigendom), yaitu hak milik bersama (mede-eigendom) dari 2 (dua) atau lebih pemilik bersama (mede-eigenaars) atas obyek hukum atau obyek –obyek hukum yang penguasaanya secara fisik serba bersama dan bersatu, sehingga benda yang menjadi obyek hak milik mereka bersama tersebut secara keseluruhannya dapat dikuasai oleh tiap –tiap pemilik itu bersama (semengesteld) dengan pemiliknya.

2)      hak milik bersama dengan penguasaan fisik secara terpisah (apartgestelde mede-eigendom), yaitu hak milik bersama (mede-eigendom) dari 2 (dua) atau lebih pemilik bersama (mede-eigenaars) atas obyek hukum atau obyek –obyek hukum yang masing –masing obyek hukum itu mempunyai bagian –bagian atau satuan –satuan bagian tertentu yang dikuasai secara saling terpisah antara para pemiliknya itu.

Bila dipandang dari sudut sifatnya, maka hak milik bersama menurut Vollmar dapat dibagi dan dibedakan atas ( Soedarsono,1987:87 ) :

1)      Hak milik bersama yang bebas (vrije/ongebonden mede-eigendom)

yaitu hak milik bersama yang masing –masing pemiliknya menjadi para pemilik (mede-eigenaars) dari obyek hak milik bersama itu secara bebas, dalam arti antara mereka satu sama lain sebelumnya sama sekali tidak pernah ada ikatan apapun, melainkan mereka menjadi para pemilik atas obyek hukum yang sama hanya karena kebetulan semata –mata dari pilihan atau kepentingan mereka yang kebetulan sama.

Contoh : hak milik bersama dari para milik suatu bangunan rumah susun dimana masing –masing pemilik memegang hak milik atas satu atau beberapa satuan rumah susun dalam keadaan yang bebas pada hubungannya antar satu sama lain.

2)     Hak milik bersama yang terikat (onvrije/ gebonden mede-eigendom),

Yaitu hak milik bersama yang tiap –tiap pemiliknya menjadi para pemilik (mede-eigenaars) dari obyek hak milik bersama itu berdasarkan suatu atau beberapa ikatan hubungan tertentu yang sebelumnya sudah ada diantaranya.

Contoh : hak milik bersama suami istri atas harta bersama dalam perkawinan mereka tentunya timbul karena adanya hubungan dan ikatan yang sebelumnya telah ada antar mereka, yakni ikatan perkawinan.

Dari sini dapat dijelaskan termasuk Hak milik bersama yang bagaimana dan apakah Hukum rumah susun (kondomunium) itu, berdasarkan sedikit penjelasan diatas maka dapat kita buktikan bahwa Hukum rumah susun (kondomunium) termasuk kedalam :

a.       Hak milik bersama dengan penguasaan fisik secara terpisah (apartgestelde mede-eigendom).

b.      Hak milik bersama yang bebas (vrije mede-eigendom).

Adapun pembuktian tentang pandangan tersebut dapat di tolak pangkalkan dari ciri praktis “Kondomunium” itu sendiri dengan pembedaan esensial fundamental antara milik bersama dengan penguasaan fisik secara bersatu, bersama (samengesteldemede-eigendom) dan hak milik bersama dengan penguasan secara terpisah (apartgestelde mede-eigendom) sehingga dapat disimpulkan hukum Rumah Susun (kondomunium) ialah hukum yang mengatur perihal hak milik bersama yang objeknya meskipun terwujud dalam suatu persatuan konstruksi namun terbagi –bagi atas bagian –bagian tertentu yang masing –masing dimiliki secara individual oleh pemiliknya yang bersangkutan dalam keadaan :

a.       Terpisah dari bagian –bagian yang lain dengan batas –batas yang jelas, sebagai salah satu bagian dari obyek hak milik bersama yang merupakan  kumpulan/ himpunan dari sekian banyaknya bagian yang menjadi obyek hak milik individual tersebut (apartgestelde mede-eigendom).

b.      Bebas artinya tidak perlu tergantung pada kehendak atau persetujuan/ izin dari para pemilik yang lain.

2.5.2   Pengertian Rumah Susun

Rumah susun mengandung arti suatu pemilikan bersama atas gedung –gedung yang bersifat ”multiple-occupant” yang masing –masing penghuninya memiliki titel yang menimbulkan pengakuan akan hak yang terpisah dari para penghuni lainya. Dengan demikian masing –masing penghuni diakui mempunyai kepentingan sendiri –sendiri atas ruang yang ditempatinya, yang harus dihormati oleh orang –orang dan pihak –pihak lain ( Satjipto,1998:175 ).

Adapun pengertian rumah susun berdasarkan Undang –Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (selanjutnya disingkat UURS) adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalm suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian –bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan –satuan yang masing –masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Jadi rumah susun yang dimaksudkan dalam Undang- Undang adalah istilah yang memberikan pengertian hukum bagi bangunan gedung bertingkat yang senantiasa mengandung sistem pemilikan perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya untuk hunian atau bukan hunian, secara mandiri ataupun secara terpadu sebagai satu kesatuan sistem pembangunan.

Pembangunan perumahan dan permukiman bersusun berdasarkan klasifikasinya bentuknya dapat terdiri dari:

a.       Satuan rumah susun sederhana, adalah satuan rumah susun dengan luas lantai bangunan tidak lebih dari 45 m2 dan biaya pembangunan per m2 tidak melebihi dari harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas C yang berlaku.

b.      Satuan rumah susun menengah, adalah satuan rumah susun dengan luas lantai 18 m2 sampai 100 m2 dan biaya pembangunan per m2 antara harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas C sampai dengan harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas A yang berlaku.

c.       Satuan rumah susun mewah, adalah satuan rumah susun dengan biaya pembangunan per m2 diatas harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas A yang berlaku dengan luas lantai bangunan lebih dari 100 m2.

Sedangkan untuk jenis pemakaianya dan kegunaanya Rumah Susun terbagai menjadi dua kelompok yaitu :

a.       Rumah Susun Hunian

Yaitu rumah susun yang seluruhnya berfungsi sebagai tempat tinggal.

b.      Rumah Susun Non Hunian

Yaitu rumah susun yang seluruh berfungsinya sebagai tempat usaha atau/dan kegiatan sosial.

c.       Rumah Susun Campuran

Yaitu rumah susun yang sebagian berfungsi sebagai tempat tinggal dan sebagian lainya berfungsi sebagai tempat usaha atau/dan kegiatan sosial.

Pembangunnya Rumah Susun dapat diselenggarakan oleh pihak terkait dalam hal ini dijelaskan ( Pada pasal 5 ayat 2 Undang –Undang Rumah Susun nomor 16 Tahun 1985 ) yaitu :

a.      BUMN atau BUMD;

b.     KOPERASI;

c.      Badan Usaha Swasta;

d.     Swadaya Masyarakat;

2.5.3   Syarat Pembangunan Rumah Susun

Dalam pasal 6 Undang –Undang Nomor 16 Tahun 1985 menyatakan bahwa pembangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan teknis dan administratif persyaratan teknis dan administartif ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang rumah susun. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam pembangunan rumah susun adalah :

a.       Persyaratan teknis untuk ruangan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988;

b.      Persyaratan untuk struktur, komponen dan bahan –bahan bangunan-  bangunan Pasal 12 dan 13 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988;

c.       Kelengkapan rumah susun Pasal 14 dan 15 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988;

d.      Satuan rumah susun Pasal 16 sampai dengan 19 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988;

e.       Bagian bersama dan benda bersama Pasal 20 dan 21 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988;

f.        Lokasi Rumah Susun Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988;

g.       Kepadatan dan tata letak bangunan Pasal 23 dan 24 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988;

h.       Prasarana lingkungan Pasal 25 dan 26 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988;

i.         Fasilitas lingkungan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988;

Sedangkan persyaratan administratif yang harus dipenuhi dalam membangun rumah susun adalah sebagai berikut :

a.       sertifikat hak tas tanah;

b.      fatwa peruntukan tanah (advies planning) yaitu suatu keterangan yang memuat lokasi yang dimaksud terhadap lingkungan sekitarnya beserta penjelasan peruntukanya tanah dengan perincian mengenai kepadatan dan garis sempadan bangunan;

c.       Rencana tapak (site plan) yaitu rencana tata letak bangunan;

d.      Gambar rencana arsitektur yang memuat denah dan potongan beserta pertelaanya yang menunjukan dengan jelas batasan vertical dan horizontal dari satuan rumah susun;

e.       Gambar rencana yang menunjukan dengan jelas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama;

f.        Gambar  rencana jaringan dan instalasi berserta perlengkapannya.

2.5.4   Bagian –Bagian Atas Rumah Susun

 

Satuan Rumah Susun mempunyai bagian –bagian bersama maupun individu, adapun bagian –bagian tersebut yaitu :

a.       Hak Pemilikan Perserongan atas Satuan Rumah Susun itu disebut Hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS), yang bersifat perorangan atau digunakan terpisah.

b.      Hak Bersama dalam bagian bersama adalah bagaian bagian dari rumah susun yang dimiliki bersama secara tidak terpisah oleh semua pemilik SRS dan diperuntukan pemakaian bersama, seperti : lift, tangga, lorong, pondasi, atap bangunan, ruang untuk umum, dan lain –lainya.

c.       Hak Bersama dalam tanah bersama adalah sebidang tanah tertentu di atas mana bangunan rumah susun yang bersangkutan berdiri, yang sudah pasti status hak, batas –batas dan luasnya. Tanah tersebut bukan milik para pemilik SRS yang ada di lantai dasar. Melainkan, seperti halnya “bagian bersama” juga merupakan hak bersama semua pemilik SRS dalam bangunan rumah susun yang bersangkutan.

d.      Hak Bersama dalam benda bersama adalah benda –benda dan bangunan –bangunan yang bukan merupakan bagian dari bangunan gedung rumah susun yang bersangkutan, tetapi berada di atas “tanah bersama” dan diperuntukan bagi pemakaian bersama. seperti bangunan tempat ibadah, lapangan parkir, olahraga, pertamanan, tempat bermain anak –anak dan lain –lainya. Benda –benda dan bangunan –bangunan tersebut juga merupakan milik bersama yang tidak terpisah dari semua pemilik SRS.

e.       Penghuni adalah perseorangan yang bertempat tinggal dalam satuan rumah susun.

f.        Perhimpunan penghuni adalah perhimpunan yang anggotanya terdiri dari penghuni.

g.       Badan Pengelola adalah badan yang bertugas untuk mengelola rumah susun.

h.       Akta pemisahan adalah tanda bukti pemisahan rumah susun atas satuan- satuan  rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian dan batas –batasnya dalam arah vertikal dan horizontal yang mengandung nilai perbandingan proposional.

i.         Nilai Perbandingan Proposional (NPP) adalah angka yang menunjukan perbandingan antar satuan rumah susun terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, dihitung berdasarkan luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan terhadap jumlah luas bangunan atau nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu penyelenggara pembangunan untuk pertama kali dimana biaya pembangunan secara keseluruhan untuk menentukan harga jual. Hal ini menentukan besarnya imbangan kewajiban masing –masing pemilik Satuan Rumah Susun dalam membiayai pengelolaan dan pengoperasian. Untuk menentukan NPP dihitung berdasarkan :

Luas Satuan Rumah Susun

NPP =           Luas Satuan     X   100 %

                Jumlah Luas Satuan

             Nilai Satuan Rumah Susun

NPP =           Harga Satuan     X   100 %

                 Jumlah Luas Satuan

Hasil perhitungan ini nantinya merupakan beban biaya pengelolaan dan pengoperasian yang di tanggung bersama semua pemilik Satuan Rumah Susun.

j.        Pemisahan Hak Atas Satuan –satuan Rumah Susun adalah penyelenggara pembangunan wajib memisahkan rumah susun atas satuan –satuan rumah susun, yang meliputi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian dan batas –batasnya dalam arah vertikal dan horizontal dengan penyesuaian seperlunya sesuai kenyataan yang dilakukan dengan pembuatan akta pemisahan.

k.      Batas Pemilikan rumah susun :

1.      Dibatasi dinding.

2.      Tidak dibatasi dinding (batas imaginer).

2.5.5  Subyek Hak Milik Rumah Susun

Subyek yang dapat dimiliki satuan rumah susun adalah subyek hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah karena pemilikan satuan rumah susun meliputi juga hak bersama atas tanah bersama. Subyek hukum disini dapat perseorangan atau badan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 8 Ayat (1) Undang -Undang Nomor 16 Tahun 1985. Menurut Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960, hak milik hanya dapat oleh perorangan warga Negara Indonesia tunggal dan badan hukum yang disebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963. Hak guna bangunan dapat dipunyai oleh perorangan warga Negara Indonesia dan badan –badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Sedang hak pakai dapat dipunyai juga oleh orang asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di indonesia (Pasal 21, 36, dan 42 Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1960).

Dengan adanya ketentuan tersebut maka dengan sendirinya yang boleh membeli satuan rumah susun juga harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah bersama yang bersangkutan dengan demikian pemilik adalah perseorangan atau badan hukum yang memiliki satuan rumah susun yang menenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.

2.5.6   Asas Dalam Hukum Rumah Susun

Dalam hukum Rumah Susun, menurut Ridwan Halim.S.H (2000:242) ada suatu panca asas atau lima asas yang mewarnai esensi dan eksistensi dalam hukum Rumah Susun (Kondomunium) yaitu :

1.      Asas Pisah Tanggung  jawab pribadi

Yaitu mengandung arti terwujud dalam satu satuan konstruksi, namun tiap –tiap ”mede eigenaars” secara individual memiliki suatu bagian tertentu dari obyek Hukum Kondomunium tersebut secara eksklusif, artinya status yuridisnya terpisah dari bagian –bagian lainya.

2.      Asas Proposionalitas

Yaitu asas yang mengandung arti untuk dapat mencapai perhitungan yang seadil –adilnya mengenai porsi hak, porsi kewajiban dan tentunya juga porsi tanggung jawab pribadi yang bersatu dalam kesatuan konstruksi dengan hak milik para ”mede eigenars” lainya. Menurut hukum perbandingan ini, porsi hak/ porsi kewajiban/ porsi tanggung jawab pribadi tiap –tiap ”mede eigenars” dapat dihitung besarnya secara proposional terhadap porsi nilai dan harga keseluruhan obyek Hukum Kondomunium yang menjadi milik mereka.

3.      Asas Timbal Balik

Yaitu pada hakikatnya suatu asas yang secara umum menuntut agar dalam hidup bermasyarakat selalu tercapai ketimbalbalikan antar warga, yang dalam hal ini tentunya ialah ketimbalbalikan antara hak dan kewajiban. Takaran hak adalah kewajiban dan takaran kewajiban adalah hak.

4.      Asas kembar seragam

Kembar artinya persis sama semuanya, seragam artinya satu ragam wujud semuanya, tidak ada yang berbeda dan semuanya bersifat umum. Jadi, kembar seragam merupakan keadaan yang benar –benar menggambarkan suatu persamaan dasar yang demikian tebal antara suatu unit obyek hukum dengan unit lainya yang demikian sama, yang dalam hal ini sudah pasti mengandung persamaan bentuk, dimensi atau ukuran, situasi, bahan dasar pembuatan, konstruksi teknis, kualitas, dan tata guna serta manfaat.

5.      Asas koordinasi terpadu

Yaitu satu asas yang pada hakikatnya menghendaki adanya suatu koordinasi yang terpadu antara segenap pihak yang terkait dalam pelaksanaan dan penerapan Hukum Kondomunium yang bersangkuatan, agar segenap hasil pelaksanaan peran masing –masing pihak tersebut dapat diwujudkan menjadi suatu ”staatsoogstband” yang benar –benar memadai bagi berlangsungnya program dan proses ”Human Settlements” yang seoptimal mungkin bagi sebanyak mungkin warga masyarakat.

Sedangkan dalam Hukum tanah dikenal adanya 2 (dua) asas pemisahan dalam pemilikan tanah. Menurut Ridwan Halim.S.H (2000:176) adapun penjelasan dua asas tersebut asas pemisahan vertikal dan asas pemisahan horizontal yaitu :

1.      Asas pemisahan vertikal

Yang dimaksud dengan asas pemisahan vertikal ialah suatu asas yang membagi, membatasi dan memisahkan pemilikan tanah dalam bidang –bidang atau persil –persilnya secara vertikal, sehingga mengandung arti bahwasanya :

a.       Pemilik sebidang tanah adalah juga pemilik dari segala sesuatu baik yang terkandung di dalam tanah itu sendiri ataupun yang ada yang berdiri di atas tanah tersebut, misalnya bangunan –bangunan ataupun tumbuh –tumbuhan yang ada di atas tanah itu.

b.      Karena itu, dalam asas pemisahan ini tidak dimungkinkan seseorang atau suatu pihak melakukan penumpangan di atas tanah orang lain, baik apakah penumpangan tersebut berupa penumpangan pembuatan atau pendirian  bangunan ataupun  penanaman tumbuh –tumbuhan atau pepohonan.

c.       Jadi dengan perkataan lain pemilik dari sebidang atau sepersil tanah tertentu sudahlah jelas status diri dan haknya, yakni sebagai pemilik penuh yang berhak atas segala sesuatu yang berkenaan dengan bidang atau persil tanah miliknya tersebut serta segala sesuatu yang ada pada tanah tersebut.

2.      Asas pemisahan Horizontal

Yang dimaksud dengan asas pemisahan horizontal ialah suatu asas yang membagi, membatasi dan memisahkan pemilikan atas sebidang tanah berikut segala sesuatu yang berkenaan dengan tanah tersebut secara horizontal, sehingga hal ini membawa akibat hukum bahwasannya :

a.       Belum tentu pemilik sebidang tanah itu adalah juga pemilik dari segala tanaman atau bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut dan demikian pula sebaliknya, belum tentu juga pemilik segala tanaman atau bangunan yang berdiri di atas sebidang tanah adalah juga pemilik dari tanah yang bersangkutan beserta segala isinya yang terkandung di dalamnya.

b.      Karena itu, dalam asas pemisahan ini sangat dimungkinkan seseorang atau suatu pihak melakukan penumpangan di atas tanah orang lain, baik penumpangan itu berupa penumpangan pendirian rumah atau bangunan ataupun berupa penumpangan penanaman tanaman atau tumbuhan tertentu.

c.       Jadi dengan perkataan lain, pemilik dari sebidang atau sepersil tanah tertentu belum tentu adalah juga pemilik dari segala sesuatu yang ada di atas tanah tersebut.

Bila kita telah menyimak perihal kedua asas pemisahan di atas yakni asas pemisahan vertikal dan asas pemisahan horizontal, maka dapatlah kita simpulkan bahwa kedua asas pemisahan tersebut dianut atau dikenal dalam hukum Rumah Susun. Adapun bukti –bukti atau dasar –dasar yang membuktikan kebenaran kesimpulan ini ialah sebagai berikut :

a.       Dikatakan bahwa asas pemisahan vertikal dikenal dalam hukum rumah susun berhubungan dalam hukum rumah susun dikenal adanya pemisahan vertikal yang membagi –bagi secara terpisah –pisah suatu bangunan rumah susun itu atas satuan –satuan rumah susun yang saling terpisah, dengan tujuan agar tiap –tiap satuan rumah susun itu dapat dimiliki ataupun dihuni secara tersendiri, terpisah dari satuan –satuan rumah susun lain.

b.      Dikatakan bahwa asas pemisahan horizontal dikenal juga dalam hukum rumah susun berhubung dalam hukum rumah susun dikenal adanya pemisahan horizontal yang membagi, memisahkan dan membedakan antara status satuan –satuan rumah susun yang merupakan hak milik pribadi masing –masing dari para ”mede-eigenars” dengan tanah dimana gedung rumah susun mereka itu berdiri yang merupakan hak milik bersama dari para mede-eigenaars tersebut.

2.5.7  Hak Tanah di Bangun Rumah Susun

Berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang –Undang Nomor 16 Tahun 1985, rumah susun dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang –undangan yang berlaku. Yang dimaksud hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai adalah hak –hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA.

a.       Hak milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hal ini dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 subyek hak milik adalah warga negara indonesia tunggal dan badan –badan hukum, ketentuan mengenai hak milik diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA.

b.      Hak bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Jangka waktunya 20 tahun dan paling lama 30 tahun, yang kemudian dapat diperpanjang lagi paling lama 20 tahun. Subyek hak guna bangunan adalah warga negara indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum indonesia dan berkedudukan di indonesia. Mengenai hak guna bangunan diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA.

c.       Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberianya oleh pejabat yang berwenang memberikanya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa –menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan –ketentuan UUPA. Jangka waktu hak pakai adalah selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu. Subyek hak pakai adalah warga negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pengaturan mengenai hak pakai terdapat dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1965 tentang UUPA.

d.      Tidak ada pasal dalam Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang mengatur mengenai hak pengelolaan, hak pengelolaan hanya disebut dalam penjelasan umum angka 2 (dua) Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960 dalam penjelasan pasal 7 ayat (1) Undang –Undang Nomor 16 Tahun 1985 yang dimaksudkan dengan hak pengelolaan adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 jo. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977. Hak pengelolaan adalah hak yang memberikan wewenang kepada haknya untuk :

1)      Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;

2)      Menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan usahanya;

3)      Menyerahkan bagian –bagian dari pada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi –segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuanganya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah tersebut kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat –pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang –perundangan agraria yang berlaku.

Yang dapat menjadi subyek hak pengelolaan adalah badan hukum yang didirikan menurut hukum indonesia dan berkedudukan di indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh pemerintah dan/atau daerah, juga lembaga dan instansi pemerintah.

 

 

2.5.8  Dasar Hukum Pendaftaran Hak Satuan Rumah Susun di DKI Jakarta

Pengaturan pelaksananan Pendaftaran hak atas satuan rumah susun di DKI Jakarta didasarkan pada :

1)      Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

2)      Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

3)      Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk Dan Tata Cara Pengisian Serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun.

4)      Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk Dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah Serta penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

5)      Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 tahun 1992 tentang Rumah Susun di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

6)      Keputusan Gubernur Kepala Daerah DKI Nomor 924 Tahun 1991 tentang Peraturan Pelaksana Rumah Susun di Daerah Khsusus Ibukota Jakarta.

METODE PENELITIAN

 

 

 

 

3.1  Pendekatan Masalah

 

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mempelajari, mengkaji peraturan perundang –undangan dan literatur serta bahan –bahan hukum yang berhubungan dengan peraturan pendaftaran hak atas satuan Rumah Susun di DKI Jakarta.

Sedangkan untuk mengkaji dan memperjelas kajian hukum Penelitian tersebut serta mendapatkan hasil penelitian yang lebih obyektif dan terperinci dan lebih terggambarkan maka digunakan pendekatan Penelitian empiris yaitu tipe penelitian yang dilakukan oleh peneliti agar mendapatkan informasi dan data –data dalam masalah yang diselidiki terhadap peristiwa hukum yang terjadi yaitu pendaftaran hak atas satuan rumah susun di DKI Jakarta.

3.2  Data dan Sumber Data

 

Untuk membantu peneliti untuk mengelola penelitian, peneliti menggunakan 2 (dua) sumber data yang digunakan dalam penelitian yaitu berupa data primer dan data sekunder sebagai data acuan, pelengkap dan pembanding :

1)      Data primer yaitu data yang didapat atau diperoleh melalui wawancara dengan pihak yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti, data primer tersebut diantaranya diperoleh dari wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan DKI Jakarta, Kepala Sub. Penetapan Hak Tanah dan Perorangan dan sebagai data pelengkap akan dilakukan wawancara Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta dan tentunya pihak pelaksana pembangunan rumah susun di DKI Jakarta serta beberapa masyarakat pemilik atas satuan rumah susun di DKI Jakarta yang dipilih secara acak (Random).

2)      Data sekunder

Data sekunder adalah data –data yang diperoleh peneliti dari kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil peneliti dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku –buku.

a)      Bahan hukum primer (primary law material) merupakan bahan hukum yang bersifat mengikat yaitu berupa perundang-undangan yang terdiri dari

1)      Undang–Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

2)      Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.

3)      Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

4)      Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

5)       Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk Dan Tata Cara Pengisian Serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun.

6)      Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk Dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah Serta penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

7)      Dokumen –dokumen hukum pertanahan lainya yang berkaitan dengan Pendaftaran hak atas satuan Rumah Susun.

b)      Bahan hukum sekunder (secondary law material) yaitu bahan –bahan hukum yang memberi penjelasan tambahan terhadap bahan hukum primer yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan yaitu literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

c)      Bahan hukum tersier (tertier law material) yaitu bahan –bahan hukum yang memberikan tambahan informasi dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder itu sendiri, seperti kamus hukum, kamus bahasa indonesia, jurnal penelitian hukum dan bahan-bahan diluar bidang hukum seperti majalah surat kabar serta bahan -bahan hasil pencarian melalui internet yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.

3.3  Metode Pengumpulan Data

 

Dalam membantu proses penelitian, peneliti melakukan metode pengumpulan data yang diperlukan, adapun peneliti menggunakan dua macam metode pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu :

1)      Studi Kepustakaan (bibliography study)

      Studi Kepustakaan yaitu suatu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari prosedur pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mempelajari, membaca, mencatat, memahami dan mengutip data-data yang diperoleh dari beberapa literatur berupa buku-buku, peraturan hukum, dan berbagai sumber bacaan lainya yang berkaitan dengan pokok bahasan yang diteliti.

2)      Studi Lapangan

Studi Lapangan dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan cara menggunakan teknik wawancara kepada para nara sumber atau key informan yang memahami dalam pokok bahasan yang diteliti agar mendapat jawaban, tanggapan serta informasi atas pokok bahasan yang diperlukan. Adapun pihak -pihak yang diwawancarai yaitu

1.      Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta;

2.      Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta;

3.      Pihak Pembangun (Developer) Rumah Susun, dan;

4.      Dipilih dua orang pemilik Atas Satuan Rumah Susun sebagai sampling data.

3.4  Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul dan diperoleh selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan langkah -langkah sebagai berikut:

1)      Pemeriksaan data (editing)

Dilakukan dengan pemeriksaan kembali terhadap data yang sudah terkumpul melalui studi pustaka, dokumen yang tujuannya adalah untuk menentukan kelengkapan data, kerelevanan data dan tanpa kesalahan terhadap pokok bahan yang dikaji agar sesuai dengan bahasannya.

2)      Klasifikasi data

Menempatkan dan mengelompokan data yang diperoleh tersebut menurut atau sesuai dengan pokok atau inti permasalahan yang akan diteliti sehingga diperoleh data yang obyektif dan sistematis sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

3)      Penyusunan/Sistematisasi data (construction/sistematizing)

Penyusunan data berdasarkan urutan data yang telah ditentukan dan sesuai dengan pokok bahasan secara sistematis.

3.5  Analisis Data

 

Setelah pengumpulan dan pengolahan data selesai lalu dilakukan analisis secara kualitalif, yaitu diuraikan data -data ilmiah tersebut berdasarkan karakter atau sifat gejala dan peristiwa hukumnya yang berlaku dan terjadi dalam kenyataan secara teratur, runtun, logis sebagai data primer yang kemudian ditautkan dengan teori-teori, uraian, konsep hukum dan peraturan perundang –undangan yang berlaku.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

 

 

 

4.1  Gambaran Umum Pembangunan Rumah Susun DI DKI Jakarta

 

4.1.1 Umum

 

Daerah provinsi DKI Jakarta sebagai kota metropolitan dan merupakan kota terpadat di indonesia mempunyai jumlah penduduk sekitar 9.041,605 jiwa, jumlah pria 4.503,376 wanita 4.538,229 kepadatan penduduk 13.400,00 per km2dan mempunyai luas daratan pada saat ini kurang lebih seluas 66.152 ha (Data Dinas Perumahan DKI Jakarta tahun 2007). Luas ini terbagi menjadi 5 (lima) kotamadya DKI Jakarta, luas wilayah tersebut yaitu :

1.      Kotamadya Jakarta Pusat seluas 4.891,91 Ha;

2.      Kotamadya Jakarta Utara seluas 15.140,99 Ha;

3.      Kotamadya Jakarta Barat  seluas 12.614,99 Ha;

4.      Kotamadya Jakarta Selatan seluas 14.736,85 Ha;

5.      Kotamadya Jakarta Timur seluas 18.767,26 Ha.

Dengan Luas jakarta yang seluas 66.152 Ha tersebut sekitar 41.331,32 Ha diperuntukan bagi lahan Perumahan dan Pemukiman dengan jumlah dan persentase untuk tiap wilayah yaitu Jakarta Pusat 2.866,47 Ha (17%), Jakarta Utara 7.523,14 Ha (18%), Jakarta Barat 8.344, 35 Ha (20%), Jakarta Selatan 10.166,45 Ha (25%), Jakarta Timur 12.410,91 Ha (30%), lalu sekitar 4.988,53 Ha lagi untuk lahan industri, 6.812,75 Ha untuk lahan perkantoran dan perdagangan, 1.314,23 Ha untuk taman dan selebihnya sekitar 11,705, 17 Ha dipergunakan untuk lahan lainya, seperti sarana dan prasarana umum lainya yaitu jalan, saluran air, sarana olahraga dan lainya.

4.1.2 Strategi Pembangunan Rumah Susun

Data kebutuhan perumahan di DKI Jakarta berdasarkan data di Dinas Perumahan DKI Jakarta yaitu sebesar 70.000 unit/tahun. Perkembangan ini lalu diproyeksikan bidang pembangunan perumahan dan rumah susun dengan proporsi 60 % (42.000 unit/tahun) untuk perumahan horizontal atau landed houses dan 40 % (28.000 unit/tahun) untuk perumahan vertikal atau rumah susun. Hal ini merupakan strategi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah propinsi DKI Jakarta dalam rangka upaya pemecahan semakin meningkatnya kebutuhan akan perumahan atau tempat tinggal. Berikut ini gambaran strategi pembangunan perumahan susun di DKI Jakarta berdasarkan tabel :

TABEL I

Strategi Dan Perkembangan Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta

 

 

60 %

42.000 unit/th

Landed houses

100 %

70.000

40 %

Rumah Susun

28.000 unit/th

 

 

 

(Sumber : Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta, 2007)

 

Target tersebut didasarkan adanya backlog atau kesenjangan pasokan perumahan di Jakarta. Dari sejumlah kebutuhan tersebut, pemerintah DKI Jakarta sendiri mentargetkan setiap tahunnya membangun 3.360 unit rumah susun baru di seluruh Jakarta sehingga dalam tiap periode perencanaan akan terbangun 20.160 unit rumah susun.

 

Adapun klasifikasi dan jumlah Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta berdasarkan pihak atau Lembaga pembangunan oleh Pemerintah DKI Jakarta maupun Pihak Swasta adalah sebagi berikut :

TABEL II

Data Klasifikasi dan Jumlah Pembangunan Rumah Susun 

 

 

 

 

Jumlah Rumah Susun

 

Klasifikasi

 

PEMDA

Badan Usaha/ Developer

 

Jumlah

Mewah

20 %

0

5.600

5.600

Menengah

40 %

0

11.200

11.200

Bawah

40 %

3.360

7.840

11.200

Jumlah

100 %

3.360

24.640

28.000

 (Sumber : Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta, 2007)

Pembangunan rumah susun yang dilakukan oleh Pemerintah provinsi DKI Jakarta merupakan program berkelanjutan (konsisten) yang telah dilakukan sejak tahun 1994 dan tersebar di seluruh 5 (lima) wilayah Provinsi DKI Jakarta. Program tersebut juga merupakan komitmen yang telah dicanangkan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta yang dituangkan dalam tujuan dan sasaran kebijakannya, yaitu :

a.       Tujuannya adalah dalam rangka penataan lingkungan permukiman kumuh dan efesiensi lahan yang terbatas dan mahal harganya, serta dituntut dapat menampung kebutuhan perumahan bagi penduduk dalam jumlah besar.

b.      Sasaranya adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan perumahan dan pemukiman bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, mendukung konsep tata ruang dengan pengembangan pembangunan daerah perkotaan kearah vertikal dan optimalisasi sumber daya tanah.

Sebagai data perbandingan dalam penelitian ini, penulis hanya memberikan data pembangunan rumah susun yang diselenggarakan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Adapun pembangunan rumah susun sampai saat ini Pemerintah Propinsi DKI Jakarta telah membangun 24 (Dua Puluh) lokasi Rumah Susun. Data rumah susun yang telah dibangun oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dari tahun 1994 sampai dengan 2006 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

TABEL III

Data Pembangunan Rumah Susun Di DKI Jakarta

 

 

a.      Rumah Susun Sewa-Beli

 

No

Lokasi/Nama Rumah Susun

Luas

Areal

(m2)

Blok

Tipe

Unit Total

Tahun Buat

 

1.

 

Jakarta Pusat

a.       Tanah Tinggi

b.      Bendungan Hilir II

c.       Karet Tengsin

d.      Jati Bunder

e.       Petamburan

f.        Bendungan Hilir

21.000

11.000

7.000

1.500

25.000

4.000

6

3

4

1

6

3

21

21

21

21

21

18

436

614

160

40

600

296

1994-1995

1995-1996

1995-1997

1995-1996

1999-2001

1994-1995

Sub Jumlah

69.500

20

1.850

2.

Jakarta Barat

a.       Tambora III A

2.900

1

21

80

1991-1992

Sub Jumlah

2.900

1

80

 

3.

Jakarta Selatan

a.       Tebet Barat I

b.      Tebet Barat II

19.000

7.000

4

2

21

21

320

120

1994-1996

2001

Sub Jumlah

26.000

6

440

 

4.

Jakarta Timur

a.       Bidara Cina

24.000

7

18

688

1994-1995

Sub Jumlah

24.000

7

688

 

Jumlah Rusun Sewa Beli

122.400

34

 

3.058

 

 

b.      Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa)

 

No

Lokasi/Nama Rumah Susun

Luas

Areal

(m2)

Blok

Tipe

Unit Total

Tahun Buat

1.

Jakarta Utara

a.       Sukapura

b.      Penjaringan

c.       P II  ( 322 Unit )

d.      Penjaringan III

2.000

6.000

1

2

1

1

21

21

30

24

100

152

80

100

1996

1996

2002

2002

Sub Jumlah

8.000

5

432

2.

Jakarta Barat

a.       Tambora III C

b.      Tambora III D

c.       Tambora IV

d.      Bulak Wadon

e.       Flamboyan I

f.        Flamboyan II

g.       Flamboyan III

h.       Kapuk

2.500

6.000

18.000

24.000

1

2

2

2

1

1

6

18

21

21

18

21

30

30

32

40

40

180

192

208

80

80

700

1994

1994

1996

1994

1996

2001

2003

2006

Sub Jumlah

50.500

15

1.520

 

3.

Jakarta Timur

a.       Cipinang Muara I

b.      CM  II 230 Unit

c.       Cipinang Muara III

d.      Pulo Jahe

e.       48 Unit

f.        Tipar Cakung

g.       Pondok Bambu

7.500

11.000

59.000

1

1

1

1

2

10

2

30

30

30

30

21

30

24

80

110

40

16

32

1.000

200

2000

2001

2002

2003

2003

Sub Jumlah

77.500

18

1.487

 

4.

Jakarta Pusat

a.       Jatirawasari

6.200

2

24 & 32

180

2006

Sub Jumlah

6.200

2

180

 

Jumlah Rusun Sewa

142.200

40

 

3.610

 

(Sumber : Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta, 2007)

 

Rasio perbandingan antara luas satuan rumah susun dengan penghuni menggunakan batasan berikut ini :

  1. Tipe 18 maksimum dihuni oleh : 4 orang
  2. Tipe 21 maksimum dihuni oleh : 5 orang
  3. Tipe 36 maksimum dihuni oleh : 8 orang
  4. Tipe 54 maksimum dihuni oleh : 10 orang

Sejak tahun 1994 Pemerintah Propinsi DKI Jakarta turut serta melaksanakan pembangunan perumahan di DKI Jakarta melalui kegiatan pembangunan rumah susun sederhana sewa beli namun dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam pengelolaan dan penghunian rusun sewa beli, sejak tahun 1995 Pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk sementara waktu hanya membangun Rumah Susun Sederhana Sewa.

 

Dengan besarnya antusias dari masyarakat terhadap pembangunan rumah susun dan dalam rangka percepatan penyedian rumah susun bagi masyarakat di DKI Jakarta, pemerintah DKI Jakarta selanjutnya telah merencanakan kembali pembangunan Rumah Susun (Rusunawa) Berskala Besar. Berikut ini data rencana pembangunan tersebut :

TABEL IV

Rencana Pembangunan Rumah Susun Di DKI Jakarta

 

 

NO

Lokasi

Luas SK Penguasaan Hak

Telah bebaskan

(Ha)

Rencana Pembangunan 2015

Sudah Terbangun 2007

Jakarta Utara

1.

Marunda

41.80

25.90

40

3.760

17

1680

2.

Rorotan

41.00

6.23

82

6.560

Jakarta Barat

3.

Samanan

10.20

2.37

18

1.800

Jakarta Timur

4.

Rawa Bebek

17.70

13.83

17

1.700

5.

Pulo Gebang

4.30

4.30

8

720

6.

Pinus Elok

2.91

2.14

9

900

7.

Jatinegara

4.50

2.48

12

1.200

8.

Cakung Barat

3.60

3.60

8

640

9.

Cipinang Besar

4.60

1.16

8

800

10.

Jl. Komarudin

3.80

3.80

6

600

Jumlah

134.41

65.81

208

18.680

17

1680

(Sumber : Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta, 2007)

Kebijakan pembangunan ini diarahkan kepada warga masyarakat yang menjadi (target group) yaitu masyarakat golongan menengah ke bawah yang diwujudkan dalam bentuk pemberian subsisdi sebesar 50 % (lima puluh persen) dari harga riil unit rumah susun yang dibeli oleh warga masyarakat tersebut di wilayah DKI Jakarta. Pembayaran pun dengan cicilan antara 5-15 tahun dengan uang muka antara Rp.1-15 juta hal ini dengan maksud untuk meringankan beban warga masyarakat yang terkena program pembangunan rumah susun yang nota bene adalah berpenghasilan rendah dan tidak tetap dan rencana pembangunan rumah susun tersebut harus membebaskan luas tanah yang mencapai 157,97 Ha.

Dalam pengembangan rumah susun di DKI Jakarta tersebut, Pembangunanya mendapat alokasi anggaran dasar dari APBD Provinsi DKI Jakarta dengan mempertimbangkan aspek luas tanah yang akan dibebaskan dan ketersediaan dana APBD DKI Jakarta. Maka rencana anggaran pembangunan rumah susun mencapai 19.008 unit/tahun dengan total anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp.2,762 trilyun.

 

 

4.1.3 Perizinan Rumah Susun

 

Dalam Pembangunan Rumah Susun harus memenuhi tahapan dan syarat pembangunan yang berlaku di DKI Jakarta. Selain meliputi persyaratan teknis yang sebagai pedoman dasar pembangunannya juga adanya persyaratan administratif yang harus dipenuhi dalam pembangunan tersebut dibangun dan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang ditetapkan oleh pemerintah DKI Jakarta. Perizinan ini merupakan tahapan awal sebelum pembangun Rumah Susun dan wajib diajukan oleh penyelenggara pembangunan kepada Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Kewajiban ini meliputi :

  1. Surat Izin Penunjukan Tanah (AIPPT);
  2. Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan LO (SP3L);
  3. Keterangan Rencana Kota;
  4. izin Membangun Prasarana (IMB);
  5. Izin Membangun Prasarana Kota (IMP);
  6. Izin Layak Huni (ILH) / Izin Penggunaaan Bangunan (IPB), dan;
  7. Izin –izin lain yang diperlukan.

Dari hasil wawancara dengan Bapak M. Yaya Mulyarso, S.H.M.Si (Kepala Sub.Perizinan Kantor Dinas Perumahan DKI Jakarta) pada hari Rabu, 21 November 2007 dapat diketahui bahwa Penyelenggara Pembangun rumah susun juga wajib mematuhi ketentuan persyaratan pembangunan sebagai berikut :

a.       Pembebasan tanah dalam kaitannya dengan dengan penyediaan Rumah Susun tersebut.

b.       Program distribusi perumahan/ pemukiman terarah dan penetuan tipe perumahan rumah susun.

c.       Keserasian rencana kota (RUTK, RBWK, RTK, RUK) yang ditentukan oleh Dinas Tata Kota DKI Jakarta.

d.       Tertib bangunan.

e.       Tertib hunian dan lingkungan.

Penetapan Izin dan ketentuan –ketentuan tersebut akan diberikan Gubernur setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Dinas Tata Kota, Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota dan Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta.

4.2  Pendaftaran Hak Atas Satuan Rumah Susun

 

Pelaksanan pendaftaran hak milik atas satuan rumah susun merupakan pendaftaran pertama kali yang meliputi pengumpulan, pembukuan haknya, dan penerbitan sertipikat, hal ini berada pada tugas dan prarkarsa Badan Pertanahan Nasional. Adapun pelaksanaan tugas dan fungsi dalam Kegiatan Pendaftaran Hak Atas Satuan Rumah Susun pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di DKI Jakarta sebagai Sekretariat kegiatan pengesahan akta pemisahan dan pertelaan. Adapun hasil wawancara dengan Bapak Edward Hutagalung S.H.,M.H (Kepala Seksi Penetapan Hak Tanah Perorangan Kantor Wilayah Pertanahan DKI Jakarta) hari Senin, 26 November 2007 dapat diketahui tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional dalam Pendaftaran hak rumah susun adalah mempersiapkan dan menyelesaikan pengesahan pertelaan sebagaimana dimaksud dan menetapkan batas –batas kepemilikan terhadap pertelaan tersebut, apa yang menjadi kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama, sedangkan untuk fungsinya yaitu :

1)      Mengkoordinir rapat kordinasi dengan instansi terkait dalam hal meneliti dan memeriksa Pertelaan.

2)      Melakukan proses verbal terhadap hasil Rapat Koordinasi yang dituangkan dalam Berita Acara (Administrasi) untuk di persiapkan Draft atau Net Surat Keputusan Pengesahan Pertelaan sampai dengan terbitnya SK Pengesahan.

3)      Melaksanakan penerbitan pemecahan sertipikat Hak Milik Satuan Rumah Susun yang selanjutnya untuk dilanjutkan pada Kantor Pertanahan (Wilayah) di DKI Jakarta.

4.2.1   Syarat dan Prosedur Pendaftaran Untuk Pertama Kali Hak Atas Satuan Rumah Susun

 

Sebagai dasar penyelenggaraan pendaftaran hak atas satuan rumah susun, penyelenggara pembangun rumah susun pertama wajib membuat Uraian Pertelaan dahulu sebagai syarat yang harus dipenuhi, karena uraian pertelaan tersebut memuat dan mengambarkan ketentuan tentang :

a.       Batas satuan yang dapat dipergunakan secara terpisah untuk perseorangan dalam satuan rumah susun tersebut dalam penggunaanya.

b.      Batas dan uraian atas bagian bersama dan benda yang menjadi haknya masing –masing satuan.

c.       Batas dan uraian tanah bersama serta besarnya bagian yang menjadi haknya masing –masing.

Pertelaan ini nantinya merupakan pelengkap dalam pembuatan akta pemisahan hak atas satuan rumah susun yang sesuai dan meliputi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang Tata cara pembuatan dan pengisian akta pemisahan rumah susun). Sedangkan untuk Pembuatan dan pengisian akta pemisahan dibuat dan wajib di isi sendiri oleh penyelenggara pembangunan rumah susun itu sendiri yang harus berisikan keterangan mengenai :

1.       hari, tanggal, bulan dan tahun pembuatan akta pemisahan tersebut;

2.       nama lengkap pembuat/ penandatangan akta pemisahan yang dilengkapi dengan jabatan dan tempat kerja (kantor) yang bersangkutan;

3.       nama badan hukum/ instansi penyelenggara pembangunan rumah susun;

4.       status tanah dimana rumah susun didirikan;

5.       sistem pembangunan rumah susun, apakah dilakukan secara mandiri atau terpadu;

6.       penggunaan/ pemanfaatan rumah susun, untuk hunian atau bukan hunian;

7.       jumlah blok rumah susun dalam kesatuan sistem pembangunan yang dilaksanakan pada tanah bersama;

8.       uraian tiap blok rumah susun, misalnya blok 1 terdiri dari 10 (sepuluh) lantai. Lantai 1 terdiri dari 15 (lima belas) satuan rumah, lantai 2 (dua) terdiri dari 10 (sepuluh) satuan rumah susun dan sebagainya;

9.       macam –macam bagian dan benda bersama sesuai dengan pertelaan yang disahkan;

10.   status tanah bersama, nomor hak, dan nomor surat ukur serta batas –batas tanah;

11.   perbandingan proposional antar satuan rumah susun terhadap hak atas bagian, benda dan tanah bersama;

12.   tempat/ kota dimana akta pemisahan tersebut dibuat s/d tanggal penandatanganannya;

13.   jabatan si penandatangan akta pemisahan;

14.   tanda tangan pembuat akta pemisah dan nama terangnya, dan;

15.   tempat, tanggal, bulan, dan tahun serta instansi yang mengesahkan akta pemisahan.

Setelah semua ketentuan itu dipenuhi dan selesai maka untuk memperoleh pengesahan atas akta pemisahan tersebut, pembangun rumah susun agar mengajukan permohonan pengesahanya kepada Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta melalui Kantor Pertanahan dengan melampirkan :

  1. Akta pengesahan rumah susun yang bersangkutan.
  2. Satu set pertelaan rumah susun beserta untuk Gubernur Kepala Daerah

Salinan pertelaan dimaksud pada huruf a di atas, sebanyak 2 (dua) set

Kantor wilayah Pertanahan di sini nantinya akan menjadi sekretariat kegiatan pengesahan akta pemisahan dan pertelaan tersebut. Kepala kantor pertanahan berkewajiban menetapkan sistem perhitungan nilai perbandingan proposional antara hak perseorangan dan hak bersama atas tanah, bagian dan benda bersama dalam gambar serta uraian pertelaan. Gambar dan uraian pertelaan dengan nilai perbandingan proposional tersebut dilampirkan jadi satu pada akta pemisahan yang dibuat dan yang akan disahkan oleh Gubernur DKI Jakarta.

Adapun Prosedur Pengesahan akta pertelaan tersebut yaitu sebagai berikut :

1)      Penyelenggara Pembangunan atau Pemohon mendaftarkan akta melalui Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta dengan melampirkan syarat –syarat administrasi dan semuanya rangkap 7 (Tujuh), yaitu:

a.       Sertipikat HAT (Hak Atas Tanah);

b.      SIPPT (Surat izin penunjukan penggunaan tanah);

c.       IPB/ ILH (Izin Penggunaan Bangunan/Izin layak huni);

d.      Surat IMB atau izin mendirikan Bangunan (Gambar rancang bangun);

e.       Pertelaan Bangunan rumah susun yang bersangkutan;

f.        Surat Permohonan, dan;

g.       Akta pendirian perusahaan;

2)     Setelah Akta pemisahan (pertelaan) diterima oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta sesuai dengan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhinya maka Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta akan menyerahkan kepada Bidang survey, pengukuran dan pemetaan yang berada di lingkungan Kanwil Badan Pertanahan Nasional untuk dilakukan teknis survei, pengukuran, dan pemetaan pada bidang tanah dan ruang, pengukuran batas wilayah pada satuan rumah susun.

3)     Bidang survey, pengukuran dan pemetaan setelah memeriksa kelengkapan dan unsur teknisnya dalam akta tersebut maka akan dilakukan :

1.      Asistensi pertelaan

2.      Penelitian lapangan

3.      Persiapan rapat koordinasi dengan instansi terkait

d.      Persiapan Rapat Koordinasi dengan instansi terkait dilakukan untuk pembahasan terhadap penelitian, pemeriksaan akta pemisahan dan pertelaan yang telah diajukan. Adapun Kanwil Badan Pertanahan Nasional di sini sebagai Koordinator dalam Rapat Instansi atau Dinas yang terkait dengan pesertannya diantaranya :

1.     Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan (DP2B);

2.     Dinas Perumahan DKI Jakarta;

3.     Biro Hukum Setda Propinsi DKI Jakarta;

4.     Assisten Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta;

5.     Biro Umum DKI Jakarta, dan;

6.     Dinas Tata Kota Propinsi DKI Jakarta;

d.      Setelah di lakukan Rapat Koordinasi terhadap bahan –bahan akta pemisahan dan pertelaan tersebut maka selanjutnya akan dibuatkan Berita Acara dan disertai draft verbal yaitu rancangan surat keputusan Pengesahan yang telah dikoordinasikan dengan pihak –pihak dalam rapat koordinasi tersebut, dimana masing –masing peserta baik Kepala Unit/ Kepala Dinas/ Kepala Biro melakukan mengesahkan pada Berita acara Penelitian dan Net konsep Surat Keputusan tersebut.

e.       Surat Keputusan Pengesahan dan Berita acara Penelitian beserta Akta Pemisahan selanjutnya akan diserahkan dan diajukan kepada Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta untuk diperiksa, dan ditandatangani oleh Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta Cq.Wakil Gubernur DKI Jakarta Akta Pemisahan (Gambar dan uraian pertelaan dengan nilai perbandingan proposional). Dengan ditanda tangani akta tersebut maka Pengesahan sudah disahkan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dilakukan setelah dipenuhi persyaratan berfungsinya pemilikan secara terpisah satuan -satuan rumah susun.

Setelah Akta Pemisahan ditandatangani oleh Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta atas nama Gubernur maka Kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta akan menyerahkan hasilnya kepada Penyelenggara Pembangunan rumah susun. Nantinya akta pemisahan berserta berkasnya –berkas lampirannya ini akan dipergunakan sebagai dasar untuk penerbitan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun. Dan selanjutnya Penyelenggara Pembangunan akan memohon pendaftaran Hak Milik Satuan Rumah Susun kepada Kantor Pertanahan kotamadya di DKI Jakarta, dengan di lampiran :

1.      sertipikat hak atas tanah

2.      ijin layak huni

3.      warkah –warkah lainya yang diperlukan

Yang nantinya di ikuti oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta untuk melakukan Penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan pecahan sertipikat Hak Milik Rumah Susun yang akan diserahkan ke kantor Pertanahan kotamadya. Proses pendaftaran Hak selanjutnya dilakukan di 5 (lima) wilayah kantor yang berada di DKI Jakarta agar dilakukan (sertipikasi) peruntukan bangunan Hak Milik Satuan Rumah Susun tersebut.

Adapun alamat kantor pertanahan di 5 (lima wilayah) DKI Jakarta yang dapat di gunakan untuk pendaftaranya yaitu :

1.      Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta

Alamat : Jl. Taman jati baru no.1 Tanah abang

2.     Kantor Pertanahan Jakarta Pusat

Alamat : Jl.Tanah abang no.1 Kantor Wali kota

3.     Kantor Pertanahan Jakarta Timur

Alamat : Jl.Prof.Dr. Hadi senura no.2

4.      Kantor Pertanahan Jakarta Utara

Alamat : Jl.Yos Sudarso no.27-29

5.      Kantor Pertanahan Jakarta Barat

Alamat : Jl.Raya Puri Kembangan no.1

6.      Kantor Pertanahan Jakarta Selatan

Alamat : Jl.Prapanca Walikota

 

Setelah proses pengesahan akta pemisahaan (pertelaan) tersebut selesai maka dilanjutkan Proses Pendaftaran hak miliknya. Tetapi sebelum mengajukan Pendaftaran hak milik satuan rumah susun, penyelenggara wajib melampirkan Persyaratan :

1.      Proposal pembangunan rumah susun;

2.      IMB;

3.      Identitas pemohon (Perorangan/Badan Hukum);

4.      Seripikat Hak Atas Tanah Asli;

5.      Ijin Layak Huni;

6.      Advis Planning;

7.      Akta Pemisahan yang dibuat oleh penyelenggara pembangunan rumah  susun dengan lampiran gambar dan uraian pertelaan dalam arah vertical maupun horizontal serta nilai perbandingan proposionalnya

Adapun prosedur Pendaftaran Hak Atas Satuan Rumah Susun adalah sebagai berikut :

1)      Penyelenggara pembangunan membuat permohonan pendaftarannya Hak Satuan Rumah Susun kepada Kantor Pertanahan kotamadya di lima (5) wilayah DKI Jakarta sesuai lokasi pembangunanya dengan melampirkan :

a.       Akta Pendirian Perusahaan

b.      PBB

c.       IPB

d.      Surat Kuasa (mengurus)

e.       Surat Keterangan Pengesahan dari Gubernur (SK.Pertelaan)

f.        Membayar uang pendaftaran Rp.25.000 (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 tentang Tarif dan Biaya yang berlaku dilingkungan Badan Pertanahan Nasional).

2)     Penyelenggara pembangunan dengan permohonan pendaftaran Hak tersebut akan mendapat surat permohonan dari Kantor Pertanahan setempat melalui surat permohonan daftar isian 301, 303 B sekaligus membayar kewajiban setor ke kas negara yaitu ( SPS ) Surat Perintah Setor (Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 tentang Tarif dan Biaya yang berlaku dilingkungan Badan Pertanahan Nasional).

Ket.   DI 301  = Pendaftaran Haknya Rp.25.000.

DI 303  = Salinan gambar denah dan surat ukur Rp.25.000.

DI 207  = Pembukuan Haknya.

DI 208  = Penerbitan sertipikatnya.

3)      Sejak didaftarkanya akta pemisahan dari pertama di Kantor Pertanahan, maka terjadi pemisahan atas satuan –satuan rumah susun yang dapat dimiliki secara individual dan terpisah yang disebut hak milik atas satuan rumah susun, yang nantinya akan dibuatkan buku tanah untuk setiap satuan rumah susun yang bersangkutan (Pasal 39 ayat 4 Peraturan Pemerintah  Nomor 4 Tahun 1988), adapun Kegiatan pelayanan di kantor Pertanahan sesuai dengan SPOP (Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan di Kantor Pertanahan ) adalah sebagai berikut :

1.      Meneliti Dokumen kelengkapan tersebut.

2.      Dibuatkan Surat ukur, yang diantaranya berisikan letak sebidang tanah tersebut (Letaknya, keadaan tanah, tanda –tanda batas, luasnya)

3.      Lalu dibuatkan gambar denah yaitu tentang gambar lantai satuan rumah susun yang bersangkutan, dikutip dalam gambar rencana pembangunan rumah susun yang telah disahkan oleh gubernur tadi di dalam pertelaan. Gambar denah ini terdiri dari 4 (empat ) halaman yang terdiri dari.

a.       halaman pertama terdapat uraian –uaraian mengenai rumah susun/ satuan rumah susun yang bersangkutan diantaranya nomor hak milik, mengenai tanah bersama, identitas dan lain –lain.

b.       halaman kedua disediakan ruang untuk menggambarkan denah dari satuan rumah susun yang dimaksud dengan perbandingan antara 1:100 sampai dengan 1:500.

c.       halaman ketiga digambarkan denah keseluruhan dari lantai bangunan letak satuan rumah susun yang bersangkutan dengan perbandingan yang lebih kecil disesuaikan dengan ruang yang tersedia.

d.       halaman keempat adalah halaman cadangan untuk catatan –catatan mengenai perubahan –perubahan yang terjadi kemudian.

4)      Selanjutya setelah surat ukur dan gambar denah dibuat akan dibuatkan Buku Tanah dimana buku tanah ini merupakan dasar adanya pembukuan hak atas satuan rumah susun. Buku tanah yang telah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan DKI Jakarta terdiri atas 4 (empat) halaman yaitu :

a.       Halaman muka atau halaman pertama

b.      Halaman kedua, bagian pendaftaran pertama yang dibagi dalam ruang a sampai dengan l, Halaman pertama dan kedua dipergunakan untuk pendaftaran hak milik atas satuan rumah susun untuk pertama kalinya.

c.       Halaman ketiga dan keempat disediakan untuk pendaftaran peralihan hak, pembebanan dan pencatatan lainya, tiap halaman terbagi atas 5 (lima) ruang yaitu ruang 1 samapi dengan 5.

Setiap satuan rumah susun didaftar dalam 1 (satu) buku tanah atas hak milik satuan rumah susun tersebut. Dalam pendaftaran hak milik atas satuan rumah susun, disamping mempergunakan daftar isian yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran, diperlukan pula beberapa daftar tambahan :

a.       Daftar Buku Tanah Hak Milik Satuan Rumah Susun, yang dibuat perdesa/ kelurahan.

b.      Daftar gambar rumah yang diberi nomor urut per/tahun per kabupaten/kotamadya atau persatuan wilayah kerja Kantor Pertanahan.

Sedangkan untuk Buku Tanah Hak Milik Atas satuan rumah susun tersebut berisikan :

1.     nama kantor pertanahan dan nomor daftar isian 208 dan 307;

2.     nomor lantai dan blok serta nama desa/ kelurahan letak rumah susun tersebut;

3.     nama lokasi atau alamat lengkap rumah susun;

4.     jenis dan nomor hak, berakhirnya hak dan nomor serta tanggal surat ukur;

5.     nomor dan tanggal ijin layak huni;

6.     tanggal dan nomor akta pemisahan serta tanggal dan nomor pengesahannya;

7.     nilai perbandingan proposional;

8.     nomor dan tanggal gambar denah satuan rumah susun;

9.     nama pemilik/ pemegang hak milik atas satuan rumah susun;

10.   tanggal pembukuan hak tersebut dalam buku tanah dan tanda tangan  Kepala Kantor Pertanahan serta Cap Kantor;

11.tanggal penerbitan sertipikat, dan;

12.nomor penyimpanan naskah.

5)      Terhadap hak milik atas satuan rumah susun yang telah dibukukan tersebut maka dapat diterbitkan sertipikatnya dengan cara :

a.       Membuat salinan dari buku tanah yang  bersangkutan

b.      Membuat salinan surat ukur atas tanah bersamaan

c.       Membuat salinan gambar denah satuan rumah susun yang bersangkutan

6)      Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang sudah didaftar dalam buku tanah tersebut dan telah memenuhi syarat -syarat akan diberikan tanda bukti haknya menurut ketentuan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yaitu diterbitkan sertipikatnya oleh Kantor Pertanahan (setelah diperiksa terlebih dahulu oleh kasubsi PHI, Kasi PT dan Penandatanganan sertipikat oleh Kepala Kantor Pertanahan) apabila berhalangan dapat dilimpahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran dan dan Pendaftaran tanah.

Penerbitan sertipikat terdapat pada aturan pasal 31 dan 34 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun diterbitkan untuk kepentingan dari pemegang hak Milik Atas Satuan Rumah Susun bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah dalam rumah susun tersebut. Sertipikat hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ini diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau kepada pihak lain yang dikuasakan olehnya. Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan bersama beberapa orang atau badan hukum diterbitkan satu sertipikat, yang diterimakan kepada salah satu pemegang hak bersama atas penunjukan tertulis para pemegang hak bersama yang lain dan dapat diterbitkan sertipikat sebanyak jumlah pemegang hak bersama untuk diberikan kepada tiap pemegang hak bersama yang bersangkutan, yang memuat nama serta besarnya bagian masing-masing dari hak bersama tersebut. Dengan adanya ketentuan ini masing –masing akan dengan mudah dapat melakukan perbuatan hukum mengenai bagian haknya. Salinan buku tanah, surat ukur dan gambar denah tersebut di jilid menjadi satu dalam satu sampul dokumen. Dokumen inilah yang dimaksudkan dengan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun sebagai tanda hak milik atas satuan rumah susun dan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun tersebut terdiri dari :

a.       Salinan buku tanah dan salinan surat ukur hak atas tanah bersama

b.      Gambar denah tingkat rumah susun yang bersangkutan, yang menunjukan satuan rumah susun yang dimiliki

c.       Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang bersangkutan yang kesemuanya dijilid menjadi satu dalam suatu sampul dokumen

Dalam wawancara dengan Kepala Sub.Penetapan Hak Tanah Perorangan Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta Bapak Edward Hutagalung S.H.,M.H Kanwil BPN DKI Jakarta, pada hari Senin, 26 November 2007 dan Salah satu Developer Pembangun Rumah Susun wakil direktur PT. Jaya Konstruksi Bapak Ir. Zali Yahya, M.M pada rumah susun Tebet Barat pada hari Kamis, 29 November 2007 bahwa terdapat perbedaaan antara penerbitan sertipikat rumah susun dengan rumah biasa. Sertipikat hak milik atas satuan rumah susun tersebut terbit atas nama penyelenggara pembangunan dan harus sudah ada sebelum satuan rumah susun dijual berbeda dengan perumahan biasa yang bukan rumah susun dimana sertipikat hak atas tanah yang berasal dari pemecahan sertipikat induk atas nama penyelenggara, pembangunan terbit atas nama pembeli atau pemilik yang baru dan terbit setelah rumah yang bersangkutan dibeli. Jadi, perbedaanya terletak pada perbuatan hukum pemisahanya dan perbuatan hukum jual belinya yaitu :

a.      Pada rumah susun, pemisahanya dilakukan sebelum satuan rumah susun dijual yang selanjutnya terbit sertipikat hak milik atas satuan rumah susun atas nama penyelenggara pembangunan, adanya sertipikat hak milik atas satuan rumah susun merupakan syarat untuk dapat menjual satuan rumah susun.

b.      Pada perumahan biasa, pemecahanya dilakukan setelah rumah yang bersangkutan dijual. Atas dasar jual beli tersebut, terbit sertipikat hak atas tanah atas nama pemilik yang baru.

Dengan diterbitkanya sertipikat hak milik atas satuan rumah susun, maka sertipikat hak atas tanah bersama harus disimpan di kantor pertanahan sebagai warkah dan didalam buku tanah maupun sertipikat hak atas tanah dan diberi catatan mengenai pemisahan serta penerbitan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989. Sertipikat hak milik atas satuan rumah susun ini terbit, penyelenggara pembangunan baru dapat menjual satuan rumah susun yang bersangkutan.

4.4         Syarat dan Prosedur Pendaftaran Peralihan Hak Atas Satuan Rumah Susun Melalui Jual Beli

 

 

Peralihan hak milik satuan rumah susun ini termasuk ke dalam Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah karena adanya perubahan data fisik dan data yuridis yang menjadi obyek pendaftaran yang telah terdaftar. Adapun perubahan data yuridis dalam satuan rumah susun ini karena adanya jual beli atau perbuatan hukum terhadap pemindahan hak sehingga harus adanya akta jual beli sebagai syarat sahnya peralihan hak tersebut (Pasal 94 dan 95 Keputusan Menteri Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997). Terhadap hak pemilikan satuan rumah susun yang telah di daftarkan haknya pada kantor pertanahan maka untuk pemindahan hak milik atas satuan rumah susun dan pendaftaran peralihan haknya tersebut dengan jual beli harus menyampaikan persyaratan sebagai berikut :

a.       Akta Pejabat Pembuat akta Tanah atau Berita Acara Lelang;

b.      Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan;

c.       Anggaran Dasar Rumah Tangga perhimpunan penghuni, dan;

d.      Surat – surat lainya yang diperlukan untuk pemindahan hak.

Kesemua syarat ini disampaikan kepada kepada kantor agraria (Pertanahan) kotamadya yang berada di wilayah DKI Jakarta sesuai dengan lokasi obyek peralihan tersebut terjadi. Kegiatan Peralihan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dengan jual beli ini hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yaitu adanya akta jual beli. Adapun prosedur tata cara Pembuatan akta Jual beli pada PPAT untuk syarat pendaftaran peralihan hak milik satuan rumah susun karena jual beli adalah sebagai berikut :

1)      Pemohon peralihan hak ini datang kepada PPAT untuk memohonkan dibuatkan akta jual beli,  karena PPAT merupakan pejabat yang berwenang dalam pelaksanaan pembuatan aktanya (hal ini diatur dalam Pasal 101 Keputusan Menteri Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997).

2)      Pembuatan akta tersebut wajib dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau kuasanya dan disaksikan oleh sekurang kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu. Para saksi itu memberikan keterangan mengenai  :

a.       Kehadiran para pihak atau kuasanya;

b.      Keberadaan dokumen –dokumen yang ditunjukan dalam akta, dan;

c.       Telah dilaksanakan perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.

3)      Sebelum akta ditanda tangani, PPAT wajib membacakan kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta itu, serta prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya. Akta jula beli dari PPAT tersebut dibuat sebanyak 2 lembar, yang semuanya asli, satu lembar disimpan di kantor PPAT dan satu lembar lagi yang akan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran pemindahan haknya tersebut (Dalam pasal 102 Keputusan Menteri Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997).

4)      Setelah prosedur pembuatan akta jual beli tersebut selesai selambat lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatangani akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen –dokumen yang bersangkutan Kepada Kantor Pertanahan di wilayah DKI Jakarta untuk dapat segera dilaksanakan prosedur pendaftaranya. Ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa apabila berkas di sampaikan setelah 7 (tujuh) hari, pendaftaranya akan atau harus ditolak tetapi jika syarat –syaratnya dipenuhi pendaftaranya wajib segera dilakukan.

5)      Kantor Pertanahan selanjutnya memberikan tanda penerimaan kepada PPAT mengenai telah diterimanya berkas yang bersangkutan dan PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikan akta dan dokumen –dokumen tersebut kepada para kedua belah pihak yang bersangkutan.

Pada pasal 104 Keputusan Menteri Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 untuk pendaftaran peralihan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun karena pemindahan hak yang dibuktikan dengan akta PPAT tidak diperlukan syarat –syarat berupa dokumen lain dari pada yang disebutkan dalam pasal 103 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, kecuali apabila hal tersebut dipersyaratkan oleh suatu Peraturan Pemerintah atau peraturan yang lebih tinggi. Dalam pasal 40 Keputusan Menteri Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 ditetapkan bahwa kewajiban PPAT itu hanya terbatas pada penyampaian akta yang bersangkutan berikut berkas –berkasnya kepada Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran kegiatan selanjutnya serta penerimaan sertipikat peralihan hak menjadi urusan pihak yang berkepentingan sendiri.

Kepala kantor pertanahan tidak akan mendaftar perbuatan hukum yang tidak dibuktikan dengan akta dan tidak menggunakan forrmulir sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh PPAT karena itu PPAT berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memeriksa syarat –syarat sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan antara lain mencocokan data yang terdapat dalam sertipikat dengan daftar –daftar yang ada di Kantor Pertanahan ketika terjadi jual beli tersebut sebagaimana telah di uraikan dalam pasal 97 s/d 100 Keputusan Menteri Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 yang mengatur apa yang wajib dilakukan oleh PPAT sebagai persiapan pembuatan akta yang diperlukan. Dalam hal ini obyek yang sudah didaftar, yaitu hak milik atas satuan rumah susun, wajib diserahkan sertipikat yang asli.

Mengenai kewajiban PPAT untuk mencocokan isi sertipikat tersebut dengan daftar –daftar yang ada dikantor pertanahan diatur dalam pasal 97 Keputusan Menteri Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 nantinya sertipikat yang sudah diperiksa kesesuaianya dengan daftar –daftar di kantor pertanahan disampaikan kembali kepada PPAT yang bersangkutan pada hari dilakukan pengecekan tersebut. PPAT wajib menolak membuat akta apabila pada pasal 39 Keputusan Menteri Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, mengenai hak milik atas satuan rumah susun kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan dengan daftar –daftar yang ada di kantor pertanahan.

Adapun Prosedur Pendaftaran Peralihan Hak Milik satuan Rumah susun karena jual beli di kantor pertanahan sebagai berikut :

1)      Setelah pendaftaran Peralihan jual beli dibuatkan aktanya dan hasilnya disampaikan kepada Kantor pertanahan dalam hal pemindahan peralihan hak milik atas satuan rumah susun wajib penyampaikan dokumen -dokumen yang dapat dirici sebagai berikut :

a.       Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya, sedang apabila bukan penerima hak sendiri yang mengajukan permohonan, disertai surat kuasa tertulis.

b.       Akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan yang dibuat oleh PPAT, yang pada waktu pembuatan akta masih menjabat dan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.

c.       Bukti identitas pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima hak (Foto copy KTP/ identitas lainya).

d.       Sertipikat asli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang dialihkan, yang sudah dibubuhi catatan kesesuaiannya dengan daftar –daftar yang ada di Kantor Pertanahan.

e.       Izin pemindahan hak pemindahan hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun yang didalam sertipikatnya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindah tangankan apabila telah diperoleh izin dari instansi yang berwenang (pada dalam Pasal 98 ayat (20) Keputusan Menteri Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997)

f.         Bukti pelunasan pembayaran Bea perolehan Hak atas tanah dan bangunan, sebagaimana dimaksud dalam Undang –Undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam bea terutang.

g.       Bukti pelunasan pembayaran PPh, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 jo. Nomor 27 Tahun 1996 dalam hal pajak tersebut terutang.

2)      Dengan akta peralihan jual beli yang dibuat PPAT, wajib juga memenuhi  persyaratan pajak maupun non pajak, yaitu:

a.       melunasi PPh (SP) = 5 % dari penyelengara pembangunan.

b.      melunasi BPHTB (SSB) = 5 % dari pembeli.

c.       menyelesaikan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2002 tentang PNBP di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.

3)      Dalam hak –hak atas tanah yang akan dijadikan obyek perbuatan hukum tersebut belum didaftar, dokumen diatas ditambah surat permohonan untuk mendaftar hak atas tanah yang sesuai dengan pengaturan Pasal 76 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1997.

4)      Selanjutnya diatur secara rinci apa yang harus dilakukan oleh kepala kantor pertanahan dalam pencatatan peralihan hak tersebut, yaitu :

a.       Nama pemegang hak lama dalam buku tanah dicoret.

b.      Nama atau nama –nama pemegang hak baru ditulis dalam buku tanah dan jika ada juga besarnya bagian tiap pemegang tersebut.

c.       Pencoretan dan penulisan nama pemegang hak lama dan yang baru itu dilakukan juga pada sertipikat dan daftar umum yang memuat nama pemegang hak yang lama.

d.      Perubahan juga diadakan pada daftar nama.

f.        Selanjutnya oleh kantor agraria (pertanahan) Kabupaten/Kotamadya peralihan hak tersebut kemudian dibukukan dalam Buku tanah dan pada sertipikat hak milik atas satuan rumah susun, setelah itu sertipikat tersebut diserahkan kepada yang berhak.

Biaya Pendaftaranya Rp.25.000 per Sertipikat Satuan Rumah Susun dan waktu pelaksanaan selama 20 hari kerja. Berdasarkan SPOP ( Standar Prosedur Operasi Pengaturan Pelayanan), kegiatan pelayanan peralihan di Kantor Pertanahan sebagai berikut :

1.       menerima dan mengkoreksi atau meneliti kelengkapan fisik dokumen (jika tidak lengkap diserahkan kepada pemohon kembali, pemohon menyerahkan SSTD (Surat Tanda Terima Setor), membuat dan memberikan STTD (Surat Tanda Terima Setor) kepada pemohon kembali, membuat SPS (Surat Perintah Setor), menyerahkan dokumen kepada petugas. Pelaksanaan kegiatan ( 1 hari).

2.       menerima biaya dari pemohon sesuai SPS (Surat Perintah Setor), melakukan pencatatan pada DI 305, mencantumkan kuitansi (DI 306), mencantumkan nomor dan tanggal DI 305 pada STTD (Surat Tanda Terima Setor), menyerahkan dokumen kepada petugas. Pelaksanaan kegiatan ( 1 hari).

3.       melakukan pencatatan pada DI 301, mencantumkan nomor dan tanggal DI 301 pada STTD (Surat Tanda Terima Setor) dan menyerahkan kembali kepada pemohon, menyerahkan dokumen kepada pelaksana PPH dan PPAT. Pelaksanaan kegiatan ( 1 hari).

4.       petugas PPH dan PPAT mempelajari dokumen, meminjam buku tanah kepada petugas arsip. Pelaksanaan kegiatan ( 3 hari).

5.       petugas arsip menyiapkan buku tanah dan mencatat peminjaman buku tanah. Pelaksanaan kegiatan ( 1 hari).

6.       petugas pelaksana PPH dan PPAT membuat catatan peralihan hak pada buku tanah dan sertipikat, mencatat perubahan tersebut pada DI 204, dan menyerahkan dokumen kepada kasubsi PPH dan PPAT. Pelaksanaan kegiatan ( 3 hari).

7.       kasubsi PPH dan PPAT koreksi dan validasi dokumen, memberi paraf catatan peralihan hak pada buku tanah sertipikat dan meneruskan dokumen kepada kasi P dan PT. Pelaksanaan kegiatan ( 1 hari).

8.       kasi P dan PT koreksi dan validasi dokumen, memberi paraf catatan peralihan hak pada buku tanah sertipikat dan meneruskan dokumen kepada Kepala Kantor. Pelaksanaan kegiatan ( 2 hari).

9.       kepala kantor koreksi dan validasi dokumen, menandatangani catatan peralihan hak pada buku tanah –sertipikat dan meneruskan dokumen kepada petugas pelaksana PPH dan PPAT. Pelaksanaan kegiatan ( 3 hari).

10.   petugas pelaksana PPH dan PPAT mencatat peralihan hak pada DI 208, mencantumkan nomor dan tanggal DI 208 pada buku tanah dan sertipikat, membubuhkan stempel pada buku tanah dan sertipikat, mencetak peralihan pada DI 307, menginformasikan kepada petugas untuk pencoretan DI 302 bahwa sertipikat selesai proses, menyerahkan dokumen dan mengembalikan buku tanah kepada petugas arsip, dan menyerahkan sertipikat kepada petugas. Pelaksanaan kegiatan ( 2 hari).

11.  petugas arsip –warkah mencatat pengembalian buku tanah dan melakukan pengarsipan dokumen.  Pelaksanaan kegiatan ( 1 hari).

12.  petugas loket membuat bukti penyerahan produk (DI 301 A), memberikan nomor dan tanggal pada DI 301 A dan menyerahkan sertipikat kepada  pemohon.  Pelaksanaan kegiatan ( 1 hari).

Sertipikat hak yang sudah dibubuhi catatan perubahan diserahkan kepada pemegang hak baru atau kuasanya. Kepada kantor agraria (pertanahan) Kabupaten/ kotamadya berkas –berkas peralihan hak tersebut kemudian dibukukan dan dicatat dalam Buku Tanah dan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan untuk kemudian diberikan kepada yang bersangkutan. Peralihan Hak satuan rumah susun harus wajib dilakukan di Pejabat Pembuat Akta Tanah yang wilayah kerjanya meliputi tempat letak rumah susun yang bersangkutan (Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 1985 jo. Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988). Karena pemindahan hak tersebut merupakan perbuatan hukum yang sifatnya tunai, maka hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan berpindah kepada pihak pembeli pada saat selesai dibuat akta jual beli oleh PPAT.

Berikut ini Alur Proses Pelaksanaan Pendaftaran Hak dan Peralihan Hak Milik Pertama Kali Atas Satuan Rumah Susun di DKI Jakarta :

4.4  Faktor –Faktor Penghambat Pelaksanaan Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun di DKI Jakarta

Pelaksanaan Pembangunan Rumah Susun dan Pelaksanaan Pendaftaran Haknya sudah dilakukan pemerintah DKI Jakarta sejak tahun 1986 (Data Dinas Perumahan DKI Jakarta) akan tetapi masih terdapat hambatan-hambatan yang menyertai dalam pelaksanaannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sub.Penetapan Hak Tanah Perorangan Bapak Edward Hutagalung S.H.,M.H, hari Senin, 26 November 2007 dan Dua Orang pemilik hak milik satuan rumah susun di daerah Rumah susun Tebet barat yang dipilih secara acak (random) pada hari kamis, 29 November 2007 yaitu Sdr. Suyatno (Penghuni Blok C No.104) dan Ibu Herlina (Penghuni Blok C No.56) yang menjadi beberapa faktor penghambat dalam pelaksanaan Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun di DKI Jakarta adalah :

1)      Pada Pendaftaran Hak pertama kali Satuan milik rumah susun.

a.       Pada Pendaftaran Hak Atas Satun Rumah Susun pada umumnya untuk penerbitan jumlah sertipikat Hak Milik satuan rumah susun relative besar yang mencakup satuan –satuan hak atas rumah susun, sehingga kantor pertanahan perlu melakukan konsentrasi yang lebih baik lagi dengan koordinasi internal untuk penyelesaian sertipikatnya dan juga Rendahnya Sumber Daya Manusia yang memahami dan kompeten dalam bidang tersebut sehingga diperlukan waktu penyelesaian penerbitan sertipikat hak milik satuan rumah susun tepat pada waktunya.

b.      Masih terdapat adanya perubahan peruntukan bangunan yang dilakukan oleh pihak pembangun itu sendiri yaitu misalnya dari bangunan bertingkat rumah susun menjadi bangunan biasa atau apartemen mewah yang menyebabkan perubahan data fisik dan yuridis yang tidak sesuai lagi dengan data yang terdapat di kantor Pertanahan. Jadi peruntukan bangunan tersebut berubah dan perubahan ini banyak yang tidak dilaporkan.

c.       Adanya Pembangun Rumah Susun yang mempromosikan rumah susun dengan penawaran perdana melalui lembaga pameran, padahal beberapa izin yang diperlukan seperti, izin prinsip, izin lokasi, dan izin bangunan diperoleh serta tanahnya belum ada.

d.      Ditingkatkan lagi koordinasi antara Dinas dan instansi –instansi dengan Badan Pertanahan Nasional khususnya dalam masalah koordinasi pengesahan dan pembuatan akta dan pemisahan (pertelaan) yang diajukan oleh Pembangun rumah susun ini dilihat yang kadang masih sering terjadi kurang efektifnya dalam rapat koordinasi tersebut.

2)      Pendaftaran Peralihan Haknya :

a.       Banyak Pemohon Pendaftaran Peralihan Haknya yang kurang memahami tentang tata cara dan prosedur pengajuan pendaftaran peralihan hak tersebut yang kadang menyebabkan Pemohon mengalami kesulitan khususnya dalam hal menyiapkan dokumen -dokumen yang di perlukan dalam proses pengajuan peralihan hak tersebut.

b.      Belum mantapnya pelayanan dan akses terhadap hak atas tanah untuk rumah susun, khususnya bagi kelompok masyarakat menengah kebawah dan berpendapatan rendah. Kapasitas pemerintah daerah juga masih relatif terbatas untuk dapat melaksanakan secara efektif penyelenggaraan administrasi yang memadai dan efektif dalam pendaftaran peralihan hak tersebut.

c.       Belum efesiensinya pasar rumah susun, seperti ditunjukan melalui kondisi dan proses sertipikasi hak atas tanah yang masih kurang memuaskan dan kurang sinergisitas yang dengan masih adanya keluhan masyarakat pada pelaksanaan pada peralihan hak.

KESIMPULAN DAN SARAN

 

 

 

 

5.1  Kesimpulan

 

Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian sebagaimana telah di uraiakan pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan Pendaftaran Hak Atas Satuan Rumah Susun meliputi :

1)      Pendaftaran hak milik satuan rumah susun untuk pertama kali meliputi syarat dan Prosedur, yaitu Pembangun rumah susun membuat uraian Pertelaan dahulu sebagai pelengkap dalam akta pemisahan yang berisikan bagian bersama, benda bersama, tanah bersama dan nilai perbandingan proposional yang akan diminta pengesahannya kepada Gubernur DKI Jakarta. Setelah Akta pemisahan tersebut disahkan maka selanjutnya Penyelenggara Pembangunan memohon pendaftaran Hak Milik Satuan Rumah Susun kepada Kantor Pertanahan kotamadya di DKI Jakarta yang meliputi permohonan pendaftaran haknya dan diperiksa kelengkapan dokumen dan administrasi, dibuatkan surat ukur dan gambar denah rumah susun, hal ini sebagai dasar pembuatan buku tanah. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang sudah didaftar dalam buku tanah tersebut dan telah memenuhi syarat -syarat yang diberikan tanda bukti haknya menurut ketentuan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 diterbitkan sertipikatnya lalu diberikan kepada yang berhak. Salinan buku tanah, surat ukur dan gambar denah tersebut di jilid menjadi satu dalam satu sampul dokumen. Dokumen inilah yang dimaksudkan dengan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun.

2)     Pendaftaran peralihan hak milik satuan rumah susun termasuk kedalam pemeliharaan data pendaftaran tanah yaitu syarat meliputi Akta PPAT (Akta Jual beli), sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan, Anggaran Dasar Rumah Tangga perhimpunan penghuni, surat – surat lainya yang diperlukan untuk pemindahan hak tersebut sedangkan Prosedurnya meliputi :

a.       Kegiatan Peralihan didaftarkan dan dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT (Akta Jual Beli).

b.      Setelah prosedur pembuatan akta jual beli tersebut selesai selambat lambatnya 7 (tujuh) hari PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya, berikut dokumen –dokumen yang bersangkutan Kepada Kantor Pertanahan di wilayah DKI Jakarta untuk dapat segera dilaksanakan prosedur pendaftaranya.

c.       Kantor Pertanahan selanjutnya memberikan tanda penerimaan kepada PPAT mengenai telah diterimanya berkas yang bersangkutan.

d.      Kepada kantor agraria (pertanahan) Kabupaten/ kotamadya, berkas –berkas peralihan hak tersebut kemudian dibubuhi dan dicatat perubahanya.

e.       Sertipikat hak yang sudah dibubuhi catatan perubahan diserahkan kepada pemegang hak baru atau kuasanya. Kepada kantor agraria (pertanahan) Kabupaten/ kotamadya, berkas –berkas peralihan hak tersebut kemudian dibukukan dan dicatat dalam Buku Tanah dan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan.

 

5.2  Saran

 

Setelah melakukan pembahasan, penelitian dan kesimpulan maka saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

1)      Tersusunnya standar layanan, menginventaris dan menyusun pelayanan minimum pendaftaran haknya sebagai dasar yang harus dipertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.

2)      Pelaksanaan Pendaftaran hak hendaknya dijalankan seoptimal mungkin mengingat pelaksanaan ini berbeda dengan pendaftaran tanah karena musti adanya sosialisasi terhadap pelaksanaan pendaftaran ini kepada pembangun rumah susun itu sendiri baik dalam pendaftaran hak dalam syarat dan prosedurnya. Pendaftaran peralihan dilaksanakan dengan memberikan gambaran dan sosialisasi prosedur yang lebih terperinci kepada masyarakat di Kantor pertanahan dengan monitor pelaksanaanya.

3)     Melakukan pengawasan dan tindakan preventif atas penyimpangan dan penyalahgunaan unit hunian rumah susun, hendaknya dalam berkoordinasi dengan dinas instansi terkait.

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. I.       PENDAHULUAN

 

 

 

 

  1. A.       Latar Belakang

 

 

Lembaga keuangan merupakan badan hukum yang bergerak di bidang jasa keuangan sebagai pengantar yang menghubungkan pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana. Lembaga keuangan mempunyai kekayaan dalam bentuk kekayaan aset keuangan, tagihan berupa saham, obligasi dan surat-surat berharga lainya. Kegiatan  usaha lembaga keuangan menawarkan berbagai jasa keuangan seperti pemberian kredit, mekanisme pembayaran, transfer dana, penyimpanan, penyertaan modal, investasi dalam surat-surat berharga, program asuransi dan program pensiun. Lembaga keuangan dikelompokan tiga kelompok besar yaitu lembaga pembiayaan, lembaga keuangan non bank, dan lembaga keuangan bank. Lembaga bank adalah salah satu lembaga keuangan yang merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya. Lembaga keuangan bank diatur dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan  juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan (UUP).

 

Bank sebagai penghimpun dan pengatur dana masyarakat bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Bank  melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Bank dalam menyalurkan dana masyarakat dalam kredit atau pembiayaan diprioritaskan kepada koperasi, pengusaha kecil, dan menengah. Bank sebelum memberikan pinjaman kredit kepada masyarakat (debitur) terlebih dulu menilai debitur apakah kredit tersebut layak diberikan atau tidak. Penilaian dilakukan dengan beberapa dasar  pemberian kredit seperti prospek usaha yang akan dibiayai, jaminan yang diberikan, dan hal-hal yang ditentukan oleh bank. Dasar pemberian kredit ini untuk meyakinkan bank bahwa kredit yang dimohonkan itu adalah layak dan dapat dipercaya serta tidak fiktif.

 

Dasar pertimbangan pemberian kredit pada bank dilakukan dengan mengacu pada konsep lima C Undang-Undang Perbankan meliputi character (watak), capacity (kemampuan), capital (modal), collateral (jaminaan), condition (keadaan). Salah satu penilaian dari konsep lima C adalah penilaian jaminan. Penilaian terhadap jaminan perlu dilakukan untuk mengetahui nilai barang jaminan yang diserahkan calon debitur untuk menutupi risiko kegagalan pengembalian kredit yang akan diperolehnya. Nilai jaminan kredit sekurang-kurangnya sama dengan jumlah kredit yang diterima calon debitur. Jaminan  kredit dipersyaratkan pada setiap skim perkreditan. Jaminan tersebut dapat berupa barang (milik calon debitur) atau berupa orang (pihak ketiga yang akan melunasi jika calon debitur wanprestasi).

 

Dalam setiap kegiatan usaha bank termasuk dalam pemberian kredit dilakukan dengan bunga sebagai keuntungan bagi bank. Bunga oleh sebagian masyarakat dianggap memberatkan dan juga sebagai  riba yang dilarang oleh hukum Islam. Untuk itu, lahirlah bank dengan prinsip syariah yang memberikan solusi dari keraguan masyarakat akan bunga yang diperoleh dari bank atau bunga yang diberikan kepada bank. Bank dengan prinsip syariah dalam menjalankan kegiatan berupa simpanan dan memberikan kredit kepada masyarakat dengan imbalan simpanan bagi hasil, baik yang diterima oleh bank atau diberikan kepada masyarakat sebagai keuntunganya dari simpananya.

 

Prinsip syariah merupakan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Bank umum dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah wajib pula mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan berdasarkan konsep lima C. Namun demikian, dalam perkembangan kegiatan usaha bank berupa pemberian kredit saat ini cenderung tanpa jaminan. Hal ini sering dilakukan terhadap pinjaman atau kredit dalam jumlah kecil bagi perongan atau usaha kecil. Kredit tanpa jaminan memberikan risiko bagi bank, jika debitur wanprestasi terhadap pembayaran. Untuk menghindari risiko kerja terhadap bank, akibat tidak dibayarnya kredit maka bank mencari alternatif jaminan lain bagi pinjaman atau piutang itu. Dalam praktek terhadap pinjaman tanpa jaminan tersebut oleh bank dijaminkan melalui lembaga asuransi berupa asuransi kerugian. Bank umum dari sistem konvensional akan mengasuransikan pinjaman itu melalui asuransi dengan sistem konvensional. Sedangkan bank  pada prinsip syariah akan mengasuransikan pinjaman itu pada asuransi syariah. Salah satu asuransi syariah yang menerima dan memberikan jaminan bagi pinjaman dari bank dengan prinsip syariah adalah PT. Asuransi Takaful Umum.

 

PT. Asuransi Takaful Umum merupakan sebuah lembaga keuangan non bank yang bergerak di bidang keuangan dengan konsep asuransi Islam yang berasaskan Takaful yaitu merupakan perpaduan rasa tanggung jawab antar peserta. Dalam menjalankan usahanya secara syariah, Takaful menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Asuransi Takaful umum dalam melakukan kegiatanya adalah dengan melakukan perjanjian antara PT. Asuransi Takaful Umum sebagai penanggung dengan pihak tertanggung, untuk melakukan peralihan risiko yang mungkin akan timbul diderita oleh tertanggung. Tertanggung membayar sejumlah premi kepada penangung untuk melakukan peralihan risiko yang mungkin akan timbul. Penanggung  akan menggantikan kerugian yang diderita oleh tertanggung. Salah  satu produk dari  asuransi Takaful umum yaitu asuransi penjaminan pembiayaan kredit  selanjutnya disebut Takaful tamwil.

 

Takaful tamwil merupakan penutupan pertanggungan atas risiko tidak di terimanya pelunasan kredit dari debitur terhadap pembiayaan kredit yang diberikan oleh bank syariah. Tujuan Takaful tamwil adalah memberikan jaminan kepada lembaga bank syariah dan atau lembaga keuangan syariah akan kemungkinan risiko tidak terlunasinya pinjaman atas pembiayaan kredit yang disalurkan kepada nasabahnya akibat risiko-risiko yang dijamin oleh kondisi polis Takaful tamwil.

 

Polis Takaful tamwil merupakan hasil dari sebuah perjanjian oleh bank dan asuransi yang dilakukan sesuai dengan proses prosedur ketentuan yang ada. Dalam polis Takaful tamwil ini juga terdapat ketentuan proses penyelesaian  klaim sesuai dengan kesepakatan antara bank sebagai tertanggung dan Takaful sebagai penanggung.

 

Berdasarkan uraian di atas, maka menjadi suatu kajian yang menarik dari bentuk penelitian terhadap penjaminan melalui asuransi syariah bagi pembiayaan kredit bank untuk itu judul penelitian ini adalah Penjaminan melalui Asuransi Kerugian bagi Pembiayaan Kredit Bank (Studi pada PT. Asuransi Takaful Umum Cabang. Lampung).

 

  1. Rumusan dan Ruang Lingkup Penelitian

 

 

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank? Untuk itu, yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini meliputi:

  1. Dasar  hukum penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan  kredit bank;
  2. Syarat dan prosedur penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank;
  3. Proses penyelesaian klaim penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank.

 

Lingkup penelitian meliputi lingkup pembahasan dan lingkup bidang ilmu. Lingkup pembahasan adalah penjaminan pembiayaan kredit bank melalui asuransi kerugian pada PT. Asuransi Takaful Umum cabang Lampung. Lingkup bidang ilmu adalah Hukum Keperdataan (Ekonomi) khususnya Hukum Perbankan dan Hukum Asuransi.

 

  1. Tujuan Penelitian

 

 

Berdasarkan rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

  1. Memperoleh gambaran secara jelas, rinci, dan sistematis tentang dasar hukum penjaminan melalui asuransi kerugian bagi  pembiayaan kredit bank;
  2. Memperoleh gambaran secara jelas, rinci, dan sistematis tentang syarat dan prosedur penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank;
  3. Memperoleh gambaran secara jelas, rinci, dan sistematis tentang proses penyelesaian klaim penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank.

 

  1. Kegunaan Penelitian

 

 

Kegunaan dari penelitian ini mencangkup dua hal, yaitu:

  1. Kegunaan teoritis

Sebagai upaya perluasan wawasan keilmuan dan peningkatan keterampilan menulis karya ilmiah dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya Hukum Keperdata Ekonomi yang berkaitan dengan Hukum Perbankan dan Hukum Asuransi mengenai penjaminan melalui asuransi kerugian bagi kredit pembiayaan bank.

  1. Kegunaan praktis
  2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum perdata  mengenai penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank;
  3. Sebagai bahan masukan maupun sebagai sumber informasi bagi para pihak yang berkepentingan mengenai penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank;
  4. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1.                                                                                                                                                II.      TINJAUAN PUSTAKA

 

 

 

 

  1. A.            Bank dan Perbankan

 

 

  1. 1.       Pengertian Bank dan Perbankan

 

Ketentuan Pasal 1 angka (2) UUP didefinisikan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkanya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Ketentuan Pasal 1 angka (1) UUP didefinisikan perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Kata bank berasal dari bahasa Italia banca atau uang. Bank menghasilkan untung dari biaya transaksi atas jasa yang diberikan dan bunga dari pinjaman. Bank adalah sebuah tempat di mana uang disimpan dan dipinjamkan. Menurut G.M. Verryn Stuart menyatakan bahwa bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral. Somary menyatakan  bahwa bank adalah suatu badan yang berfungsi sebagai pengambil dan pemberi kredit, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang (www. google.com).

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Menghimpun dana (uang) dari masyarakat maksudnya adalah  bank sebagai tempat menyimpan uang atau berinvestasi bagi masyarakat. Menyalurkan dana ke masyarakat, maksudnya adalah bank memberikan pinjaman (kredit) kepada masyarakat yang mengajukan permohonan.  Memberikan jasa-jasa bank lainnya seperti: pengiriman uang (transfer), penagihan surat-surat berharga yang berasal dari dalam kota (clearing), penagihan surat-surat berharga yang berasal dari luar kota dan luar negeri (inkaso), letter of credit (L/C), safe deposit box, bank garansi dan jasa lain (www. clownfish006. com).

  1. 2.       Jenis-jenis Bank

 

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati (2004: 36-44) menyatakan bahwa berdasarkan fungsinya, bank dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:

  1. BankIndonesia

BankIndonesiamempunyai tiga status yaitu Bank Sentral, lembaga negara independen dan badan hukum publik.

Bank Sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur serta mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai  lender of the last resort.

Lembaga independen negara adalah BankIndonesiabebas dari campur tangan tangan pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang BankIndonesia.

Badan hukum publik bahwa BankIndonesiadinyatakan sebagai badan hukum dengan Undang-Undang BankIndonesiayang terdapat kejelasan wewenang BankIndonesiadalam mengelola kekayaanya sendiri yang terlepas dari Anggaran dan Belanja Negara. BankIndonesiasebagai badan hukum publik berwenang untuk menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenanganya.

  1. Bank Umum

 

 

Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pengertian jasa dalam lalu lintas pembayaran menunjukan bahwa Bank Umum menjalankan usaha di bidang jasa yang bersifat umum meliputi seluruh jasa perbankan sebagai lembaga keuangan.

 

  1. Bank Perkreditan Rakyat

 

Bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasar prinsip syariah yang dalam kegiatanya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pengertian tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran meliputi tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, baik secara tunai maupunsuratberharga, atau pemindahbukuan. Pembatasan dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan fungsi Bank Perkreditan Rakyat yang ditujukan hanya untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat pedesaan.

 

Muhammad Djumhana (2003: 86), perbankan dalam menjalankan kegiatan usahanya terdapat  dua macam sistem menejemen, yaitu:

(1)   Konvensional, artinya menjalankan usaha di bidang jasa perbankan menurut cara yang lazim atau biasa, dengan memperoleh keuntungan berupa uang.

(2)   Prinsip syariah, artinya menjalankan usaha di bidang perbankan menurut aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam, dengan memperoleh keuntungan bukan berupa uang.

 

  1. Prinsip Syariah

 

Ketentuan Pasal 1 angka (13) UUP didefinisikan bahwa prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain: pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharobah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijrah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijrah waiqtina).

 

Munir Fuady (Rachmadi Usman, 2001: 67) menyatakan bahwa bank berdasarkan syariah berlaku eksklusif, bank yang melakukan kegiatanya berdasarkan syariah, hanya melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, walaupun masih dimungkinkan untuk melakukan kegiatan yang bersifat free based. Tidak dibenarkan jika ada bank melakukan kegiatan konvensional seperti memberikan kredit atau menarik deposit dengan memberikan bunga tetapi juga menjalankan produk bank berdasarkan prinsip syariah.

 

Prinsip syariah adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama Islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dan lain-lain, (www. wikipedia.com)

 

  1. B.            Kredit Pembiayaan dan Pemberian Kredit

 

 

  1. 1.             Kredit Pembiayaan

 

 

Kredit dalam bahasa latin berarti credere artinya percaya. Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan (www. google. com).

 

Ketentuan Pasal 1 angka (11) UUP didefinisikan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam (debitur) untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

 

Ketentuan Pasal 1 angka (12) UUP didefinisikan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

 

Kredit dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah mempunyai dua pengertian, dalam  kredit terdapat imbalan berupa bunga dalam kegiatan pemberian kredit yang dilakukan oleh bank. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dilakukan dengan imbalan berupa bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama dalam setiap pemberian pembiayaan kredit dengan prinsip syariah (www. google. com).

 

  1. 2.             Pemberian Kredit

 

 

Ketentuan Pasal 8  UUP didefinisikan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

 

Pemberian kredit dilakukan pemberi kredit (kreditur) atas dasar percaya kepada penerima kredit (debitur) bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Bagi debitur, kredit yang diterima merupakan kepercayaan, yang berarti menerima amanah sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu (www. google. com).

Ketentuan Pasal 29 ayat 2 UUP didefinisikan bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas managemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lainya, yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat 2 UUP maka dapat disimpulkan Pemberian kredit harus dilaksanakan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian karena setiap pemberian kredit oleh lembaga perbankan akan mengandung risiko kegagalan atau kemacetan. Ketentuan tersebut merupakan penyerapan teori perkreditan yang menyatakan bahwa dalam memberikan kredit kepada pihak debitur, pihak bank memerlukan jaminan dari pihak debitur sebagai salah satu wujud pelayanan berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudential priciple).

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati (2004: 61) menyatakan bahwa bank dalam menerima permohonan kredit terlebih dahulu melakukan analisis yang meliputi :

  1. Latar belakang nasabah/perusahaan nasabah;
  2. Prospek usaha yang diberikan
  3. Jaminan yang diberikan
  4. Hal-hal yang ditentukan oleh bank.

Dahlan Siamat (Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati 2004: 61), analisis kredit dilakukan atas dasar pertimbangan kredit berdasarkan konseplimaC yaitu sebagai berikut:

  1. Character (Watak)

Penilaian terhadap character  perlu dilakukan untuk mengetahui itikad baik dan kejujuran nasabah calon debitur untuk membayar kembali kredit yang diterimanya. Penilaian watak calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kemampuanya untuk membayar (willingness to pay). Penilaian tersebut meliputi moral, sifat, perilaku, tanggung jawab, dan kehidupan pribadi calon debitur yang sangat bepengaruh terhadap pelunasan kredit.

  1. Capacity (Kemampuan)

Penilaian terhadap capacity perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan calon debitur untuk membayar kembali kredit serta bunganya. Penilaian kemampuan membayar tersebut dilihat dari kegiatan usaha dan kemampuan mengelola usaha yang akan dibiayai melalui kredit.

  1. Capital (Modal)

Penilaian terhadap capital perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah modal yang dimiliki calon debitur untuk menjalankan usahanya. Makin besar jumlah modal yang ditanam oleh calon debitur, makin menunjukan keseriusan calon debitur dalam menjalankan usahanya. Besarnya jumlah modal yang ditanam berupa benda bergerak dan tidak bergerak.

  1. Collateral (Jaminan)

Penilaian terhadap collateral perlu dilakukan untuk mengetahui nilai barang jaminan yang diserahkan calon debitur untuk menutup risiko kegagalan pengembalian kredit yang akan diperolehnya. Barang jaminan berfungsi sebagai pengaman terhadap kemungkinan ketidak mampuan calon debitur melunasi kredit yang akan diterimanya.

  1. Condition (Keadaan)

Penilaian terhadap condition perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi pada suatu saat di daerah yang mungkin akan mempengaruhi kelancaran calon debitur. Kondisi ini mencakup juga peraturan atau kebijaksanaan pemerintah yang memiliki dampak terhadap keadaan perekonomian yang pada giliranya akan mempengaruhi kegiatan usaha calon debitur.

 

  1. C.            Jaminan Kredit

 

 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 456) didefinisikan bahwa jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima, janji seseorang untuk menanggung utang/kewajiban pihak lain apabila utang atau kewajiban tersebut tidak dipenuhi. Sedangkan penjaminan merupakan proses, cara perbuatan menjamin.

 

Sri soedewi (1980: 43) menyatakan bahwa jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima, janji seseorang untuk menanggung utang/kewajiban pihak lain apabila hutang atau kewajiban tersebut tidak dipenuhi. Sedangkan  penjaminan merupakan proses, cara perbuatan menjamin adanya benda tertentu yang dipakai sebagai jaminan yang bersifat perorangan dan adanya orang tertentu yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi manakala debitur wanprestasi.

 

M. Bahsan (2007: 18) menyatakan bahwa penanggungan utang merupakan jaminan utang yang bersifat perorangan dan juga dapat diberikan suatu badan yang lazim disebut dengan borgtoch.

 

Abdulkadir Muhammad (2000: 170) menyatakan bahwa  hubungan hutang piutang antara debitur dan kreditur sering disertai jaminan. Jaminan tersebut dapat berupa orang dengan adanya benda jaminan, kreditur mempunyai hak benda jaminan untuk pelunasan piutangnya apabila debitur tidak membayar hutang.

 

Muhammad Djumhana (2003: 397-398) menyatakan bahwa jaminan dalam praktek pemberian kredit, bank memandang perlu dalam rangka untuk menambah keyakinan atas watak dan kemampuan debitur, bank selalu meminta jaminan pemberian kredit dari pihak lain seperti jaminan pribadi, garansi dari bank lain atau jaminan dari induk perusahaan. Jaminan terbagi atas dua jenis, yaitu:

 

  1. Jaminan perorangan atau jaminan pribadi (personal guaranty)

 

Jaminan perorangan yaitu jaminan seseorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Jaminan ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitur.

  1. Jaminan kebendaan (persoonlijke en zakelijke)

 

Jaminan kebendaan yaitu tindakan berupa penjaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya, ataupun antara kreditur dengan seseorang pihak ketiga guna menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur.

 

  1. D.      Asuransi dan Usaha Asuransi

 

 

  1. 1.        Pengertian Asuransi

 

 

Ketentuan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang selanjutnya disebut KUHD didefinisikan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan penerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin diderita akibat suatu evenemen.

 

Ketentuan  Pasal 1 angka (1) didefinisikan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

 

Menurut Abbas Salim (1993: 1) menyatakan bahwa asuransi adalah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (substansi) kerugian-kerugian besar yang belum pasti.

 

Asuransi adalah perjanjian antara kedua belah pihak atau lebih untuk melakukan peralihan risiko yang mungkin akan timbul diderita oleh tertanggung kepada penangung dengan membayar sejumlah premi kepada penangung. Asuransi merupakan sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang atau badan ke pihak lainnya (www. google. com).

 

  1. 2.        Usaha Asuransi

 

 

Abdulkadir Muhammad (2002: 10) menyatakan bahwa usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang.

 

Ketentuan Pasal 3 huruf (a) Undang-undang Asuransi didefinisikan usaha asuransi kedalam tiga jenis kelompok yaitu:

  1. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti;
  2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan;
  3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.

Ketentuan Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Asuransi didefinisikan  bahwa perusahaan asuransi kerugian adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian kehilangan manfaat, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.

 

3. Unsur-unsur Asuransi

 

 

Menurut Abdulkadir Muhammad (2002: 8) menyatakan bahwa unsur-unsur asuransi sebagai berikut:

 

  1. Pihak-pihak

 

Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi yaitu penanggung dan tertanggung. Penanggung yang mengadakan perjanjian asuransi. Penanggung dan tertanggung adalah pendukung kewajiban dan hak. Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi. Sedangkan tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan.

 

  1. Status Pihak-Pihak

 

 

Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum, dapat berbentuk perseroan terbatas (PT), atau perusahaan perseroan (Persero), atau koperasi. Tertanggung  dapat berstatus perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik sebagai perusahaan ataupun bukan perusahaan. Tertanggung berstatus sebagai pemilik atau pihak berkepentingan atas harta yang diasuransikan.

 

  1. Objek Asuransi

 

Objek  asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang melekat pada benda, dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti kerugian. Melalui objek asuransi kerugian tersebut ada tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak. Penanggung bertujuan memperoleh pembayaran sejumlah premi sebagai imbalan pengalihan risiko.

 

  1. Peristiwa Asuransi

 

Peristiwa Asuransi adalah perbuatan hukum berupa persetujuan atau kesepakatan bebas antara penanggung dan tertanggung mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti, yang mengancam benda asuransi, dan syarat-syarat yang berlaku dalam asuransi. Persetujuan atau kesepakatan bebas tersebut dibuat dalam bentuk tertulis berupa akta yang disebut polis.

 

  1. Hubungan Asuransi

 

Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan tertanggung adalah keterikatan yang timbul karena persetujuan atau kesepakatan bebas. Keterikatan tersebut berupa kesediaan secara sukarela dari penanggung dan tertanggung untuk memenuhi kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama lain secara timbal balik. Sejak tercapainya kesepakatan asuransi, tertanggung terikat dan wajib membayar asuransi kepada penaggung dan penaggung menerima pengalihan risiko. Jika terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian atas benda asuransi, penaggung wajib membayar ganti kerugian sesuai dengan polis asuransi.

 

Abdulkadir Muhammad (2002: 9-10) menyatakan bahwa salah satu unsur penting dalam peristiwa asuransi yang terdapat dalam rumusan pasal 246 KUHD adalah ganti kerugian. Unsur tersebut hanya kepada asuransi kerugian (loss insurance) yang objeknya adalah harta kekayaan. Beberapa unsur yang harus ada pada asuransi kerugian sebagai berikut:

(1)     Penanggung dan tertanggung;

(2)     Persetujuan bebas antara penanggung dan tertanggung;

(3)     Benda asuransi dan kepentingan tertanggung;

(4)     Tujuan yang ingin dicapai;

(5)     Risiko dan premi;

(6)     Evenemen dan ganti kerugian;

(7)     Syarat-syarat yang berlaku;

(8)     Bentuk akta polis.

 

  1. E.            Asuransi Islam

 

 

  1. 1.        Pengertian Asuransi Islam

 

 

Dalam bahasa arab, asuransi dikenal dengan istilah at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, tertanggung disebut mu’amman lahu atau mustamin. Menurut Muhammad Syakir Sula (Gemala Dewi, Karmaen Perwaataatmadja,  Wirdyaningsih, Yenni Salam Barlinti 2005: 221) menyatakan bahwa At-ta’min  diambil dari amana yang artinya memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut seperti yang disebut dalam Q.S Quraisy (106): 4, yaitu “Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan”. Pengertian dari at-ta’min adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap harta yang hilang. 

 

Wahbah az-Zuhaili (Gemala Dewi, Karmaen Perwaataatmadja,  Wirdyaningsih, Yenni Salam Barlinti 2005: 222), asuransi berdasarkan pembagianya dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu at-ta’min at’ta’wuni atau asuransi tolong menolong adalah “kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti kerugian ketika salah seorang diantara mereka mendapat kemudaratan”  dan at-ta’min bi qist sabit atau asuransi dengan pembagian tetap adalah “akad yang mewajibkan seseorng membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri dari beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapatkan kecelakaan  ia diberi ganti rugi.”

 

Ahmad az-Zarqa (Gemala Dewi, Karmen Perwataatmadjda, Wirdyaningsih, Yenni Salam Barlinti 2002: 222),  asuransi adalah sebagai suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari risiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya, atau dalam aktifitas ekonominya. Sistem asuransi adalah sistem ta’awun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah oleh sekelompok tertanggung kepada orang yang tertimpa musibah tersebut.

 

Gemala Dewi, Karmen Perwataatmadjda, Wirdyaningsih, Yenni Salam Barlinti (2002: 222) menyatakan bahwa asuransi Islam di Indonesia dikenal dengan Takaful. Takaful berasal dari takafala-yatakafalu yang berarti menjamin atau saling menaggung. Mohd. Ma’sum mendefinisikan Takaful mutual guarantee provided by a group of people living in the same society against a defined risk or catastrophe befalling one’s life, property or any form of valuable things.

 

Muhammad Syakir Sula (Gemala Dewi, Karmaen Perwataatmadja, Wirdyaningsih, Yenni Salam Barlinti, 2005: 223), Takaful dalam pengertian muamalah adalah saling memikul risiko di antara sesama orang, sehingga antara yang satu dan yang lainya menjadi penanggung atas risiko yang lainya. Dalam Ensiklopedia Islam, digunakan istilah at-Takaful al-ijtima’i atau solidaritas yang diartikan sebagai sikap anggota masyarakat Islam yang saling memikirkan, memperhatikan, dan membantu mengatasi kesulitan; anggota masyarakat Islam yang satu merasakan penderitaanya sendiri dan keberuntunganya adalah juga keberuntungan orang lain.

 

Menurut Dewan Syariah Nasional dalam Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 Bagian Pertama Ketentuan Umum Angka (1) didefinisikan bahwa pengertian asuransi syariah (ta’min, Takaful, atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pula pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

 

 

 

 

  1. 2.        Konsep dan Filosofi PT. Asuransi Takaful

 

TRD Departement Takaful Indonesia (2007: 9), segala musibah dan bencana yang menimpa manusia adalah ketentuan Allah. Namun, manusia wajib berikhtiar untuk memperkecil risiko dan juga dampak keuangan yang mungkin timbul. Upaya tersebut seringkali tidak memadai, sehingga tercipta kebutuhan akan mekanisme membagi risiko seperti yang ditawarkan oleh Takaful.

 

TRD Departement Takaful Indonesia (2007: 10-11), perusahaan asuransi syariah Takaful beroperasi dengan konsep tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana telah digariskan di dalam Al-Qur’an, “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa” (QS. Al-Maidah: 2). Dengan landasan ini, Takaful menjadikan semua peserta sebagai satu keluarga besar yang akan saling melindungi dan secara bersama menanggung risiko keuangan dari musibah yang mungkin terjadi di antara mereka. Prinsip-prinsip Syariah yang dijalankan pada akad Takaful dilandaskan pada Mudharabah, Wakalah, Tabarru’, Takaful dan Ta’awun. Akad-akad Takaful tidak mengandung unsur riba (bunga uang), maisir (Judi), dan gharar (untung-untungan) yang dilarang dalam akad-akad keuangan islami.

 

 

 

 

 

 

  1. F.             Kerangka Pikir

 

 

SHAPE  \* MERGEFORMAT

Bank prinsip syariah

Asuransi Syariah (Takaful)

Peralihan Risiko

Pembiayaan kredit

Takaful Kerugian (Asuransi kredit)

Syarat danProsedur

Proses penyelesaian klaim

Dasar hukum penjaminan

Tanpa Jaminan

Penjaminan Kredit

 

Berdasarkan kerangka pikir yang telah digambarkan tersebut, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

 

Bank dengan prinsip syariah melakukan kegiatan usaha yang salah satu usahanya adalah pembiayaan kredit kepada masyarakat. Pemberian pembiayan kredit dilakukan dengan beberapa pertimbangan salah satunya adalah jaminan. Jaminan  pembiayaan kredit sekurang-kurangnya memiliki nilai sama dengan jumlah kredit yang diterima calon debitur. Kemudian dalam perkembangan saat ini untuk pembiayaan kredit berjumlah kecil tidak lagi harus menyertakan jaminan bahkan untuk pembiayaan kredit jumlah kecil cenderung tanpa jaminan. Bank dalam menghindari risiko akibat tidak dibayarnya kredit bank memerlukan jaminan dari pihak lain untuk menjamin kredit yang diberikan kepada debitur. Dalam praktek terhadap pinjaman tanpa jaminan tersebut oleh bank dijaminkan melalui lembaga asuransi berupa asuransi kerugian. Bank umum dari sistem konvensional akan mengasuransikan pinjaman itu melalui asuransi dengan sistem konvensional. Sedangkan bank  pada prinsip syariah akan mengasuransikan pinjaman itu pada asuransi syariah. Salah satu asuransi syariah yang menerima dan memberikan jaminan bagi pinjaman dari bank dengan prinsip syariah adalah PT. Asuransi Takaful Umum.

 

PT. Asuransi Takaful Umum merupakan sebuah lembaga keuangan non bank yang bergerak di bidang keuangan dengan konsep asuransi Islam yang berasaskan Takaful yaitu merupakan perpaduan rasa tanggung jawab antar peserta. PT. Asuransi Takaful Umum menjamin kredit yang dilakukan bank yang kepada debitur yang cenderung tanpa jaminan. Bank  melakukan peralihan risiko yang mungkin akan timbul akibat wanprestasi terhadap pembayaran dari pihak debitur kepada PT Asuransi Takaful Umum.

 

Penelitian ini ingin memperoleh gambaran secara jelas, rinci, dan sistematis mengenai penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank pada Asuransi Takaful Umum cabang Lampung, sehingga  akan diketahui  dasar hukum yang digunakan dalam penjaminan, syarat dan prosedur penjaminanya, dan proses penyelesaian klaim asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1.                                                                                                                                          III.      METODE PENELITIAN

 

 

 

 

  1. A.     Jenis Penelitan dan Tipe Penelitian

 

 

Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif  yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan mengkaji ketentuan hukum positif (perundang-undangan) dan kontrak perjanjian dalam peristiwa hukum penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank studi pada PT. Asuransi Takaful Umum cabang Lampung.

 

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan menggambarkan atau mendeskripsikan secara jelas, rinci, dan sistematis mengenai dasar hukum, syarat dan prosedur, serta proses penyelesain klaim penjaminan melalui asuransi kerugian bagi  pembiayaan kredit bank studi pada PT Asuransi Takaful Umum cabang Lampung.

 

  1. B.     Pendekatan Masalah

 

 

Pendekatan masalah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus (case stady) yaitu pendekatan yang mengacu kepada keberlakuan peraturan perundang-undangan dan perjanjian yang terkait dengan penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank  yang dilaksanakan oleh PT. Asuransi Takaful Umum.

 

 

  1. C.     Sumber Data

 

 

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.

  1. Data primer

 

Data primer yaitu data yang diperoleh lansung dari tempat penelitian melalui wawancara dari sumber lokasi penelitian yang terkait dengan penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank. Data primer ini digunakan sebagai penjelas atau pendukung data sekunder.

  1. Data sekunder

 

Data sekunder adalah data yang berasal dari literatur hukum dan peraturan hukum. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

  1. Bahan hukum primer (primary law material) merupakan bahan  hukum yang bersifat mengikat berupa perundang-undangan yang terdiri dari:

(1)      Undang–Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Peransuransian (Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992)

(2)      Undang-Undang No. 8 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (Lembaran Negara 182 Tahun 1998)

  1. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan yaitu berupa literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan yang ditulis.
  2. Bahan hukum tersier yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang lebih dikenal dengan nama acuan bidang hukum, misalnya kamus hukum dan indeks majalah hukum dan bahan-bahan di luar bidang hukum, seperti majalah hukum dan pencarian data melalui internet.

 

  1. C.     Metode Pengumpulan Data

 

Metode pengumpulan data dalam penelitian yang digunakan, yaitu:

1. Studi Pustaka (library research) dilakukan dengan cara mempelajari, membaca, mencatat, memahami dan mengutip data-data yang diperoleh dari beberapa literatur berupa buku-buku, peraturan hukum, yang berkaitan dengan pokok bahasan;

2 Studi Dokumen dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari dokumen penjaminan  melalui asuransi kerugian bagi  pembiayaan kredit bank studi pada PT Asuransi Takaful Umum cabang Lampung. Dokumen-dokumen tersebut tidak dipublikasikan melalui perpustakaan umum.

 

  1. D.     Pengolahan Data

 

Data yang diperoleh atau terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan langkah langkah sebagai berikut:

  1. Pemeriksaan data /editing

Hal ini dilakukan setelah semua data dikumpulkan melalui wawancara. Tujuannya adalah untuk menentukan kelengkapan data yang sesuai pokok bahasan.

  1. Klasifikasi data

Menempatkan data menurut kelompok kelompok yang ditentukan sehingga diperoleh data yang obyektif dan sistematis sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

  1. Sistematisasi data

Penyusunan data berdasarkan urutan data yang telah ditentukan dan sesuai dengan pokok bahasan secara sistematis.

  1. E.     Analisis Data

 

Setelah pengolahan data selesai dilakukan analisis secara kualitalif. Analisis kualitatif yaitu analisis yang dijabarkan dalam bentuk kalimat dengan jelas dengan menguraikan data tersebut menurut kerangka bahasa yang telah ditentukan sehingga memperoleh gambaran yang jelas mengenai pembahasan dalam penelitian ini sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan tepat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

 

  1. A.       Gambaran Umum Lokasi Penelitian

 

  1. 1.        PT. Asuransi Takaful

 

PT Syarikat Takaful Indonesia didirikan berdasarkan Akta No. 151 Tanggal 25 April 1994. Dibuat di hadapan Notaris Pengganti Nyonya Lely Roostiati Yudhoparipurno, SH dan telah memperoleh persetujuan Menteri Kehakiman Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Nomor C2-6712 HT.01.01.TH.94 Tanggal 28 April 1994.

 

PT. Syarikat Takaful Indonesia berdiri pada 24 Februari 1994 atas prakarsa Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI), yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia Tbk, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha muslim Indonesia. Kepemilikan saham mayoritas Takaful Indonesia saat ini dikuasai oleh Syarikat Takaful Malaysia Berhad (56,0%) dan Islamic Development Bank (26,39%), sedangkan selebihnya oleh pemegang saham lain, termasuk PT Permodalan Nasional Madani (6,92%) dan PT Bank Muamalat Tbk (5,91%).

 

TakafulIndonesiasebagai pelopor asuransi syariah diIndonesia, melayani kebutuhan masyarakat akan jasa asuransi dan perencanaan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah. PT. Asuransi Takaful  memiliki dua anak perusahaan operasional yaitu:

  1. PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK)
  2. PT Asuransi Takaful Umum (ASURANSI TAKAFUL UMUM).

 

PT Asuransi Takaful Umum didirikan berdasarkan Akta No. 46 Tanggal 5 Mei 1994. Dibuat di hadapan Notaris Yudo Paripurno, SH dan telah memperoleh persetujuan Menteri Kehakiman Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Nomor C2.18.286.HT.01.01.TH.94 Tanggal 14 Desember 1994 dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tanggal 21 Februari 1995 No.15 Tambahan Berita Negara Republik Indonesia No. 1660 Tahun 1995 yang telah diubah dengan Akta No. 93 Tanggal 21 Juni 1996 dan telah memperoleh persetujuan Menteri Kehakiman Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Nomor: C2-12.327.HT.01.04.TH.97 Tanggal 27 November 1997 dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tanggal 3 Juli 2001 Tambahan Berita Negara Republik Indonesia No. 4289 Tahun 2001. PT Asuransi Takaful Umum beroperasi berdasarkan :

  1. SuratDeparteman Keuangan RepublikIndonesia: S-1081/KMK.17/1994 Tanggal 19 Juli 204 Perihal: Persetujuan Prinsip PT Asuransi Takaful Umum
  2. Keputusan Menteri Keuangan RepublikIndonesiaNomor: 247/KMK/07/1995 Tentang Pemberian Izin Usaha di Bidang Asuransi Kerugian kepada PT Asuransi Takaful Umum Tanggal 1 Juni 1995.

PT Asuransi Takaful Umum yang bergerak di bidang asuransi kerugian syariah didirikan pada 2 Juni 2005 dengan peresmian oleh Menteri Riset dan Teknologi/Ketua BBPT saat itu, Prof. Dr. B.J. Habibie. Dalam menjalankan kegiatan usaha PT. Asuransi Takaful Umum memiliki beberapa jenis produk asuransi.

 

PT. Asuransi Takaful mendasarkan legalitasnya pada Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Dalam menjalankan operasional PT. Asuransi Takaful menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Peraturan  perundang-undangan yang berkaitan dengan asuransi Islam yaitu:

  1. Keputusan Menteri Keuangan RepublikIndonesiaNomor 426/ KMK. 06/ 2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan dan Perusahaan Asuransi.
  2. Keputusan Direktur Jendral Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian, dan Pembatasan Investasi Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.

 

  1. 2.        Visi Takaful dan Misi Takaful

 

 

  1. Visi Takaful

 

Menjadi grup asuransi terkemuka yang menawarkan jasa Takaful dan keuangan syariah yang komprehensif dengan jangkauan signifikan di seluruhIndonesiamenjelang tahun 2011.

 

  1. Misi Takaful

 

Kami bertekad memberikan solusi dan pelayanan terbaik dalam perencanaan keuangan dan pengelolaan risiko bagi umat dengan menawarkan jasa Takaful dan keuangan syariah yang dikelola secara profesional, adil, tulus dan amanah.

 

  1. B.       Dasar hukum Penjaminan melalui Asuransi Kerugian bagi Pembiayaan Kredit Bank

 

 

Pelaksanaan penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank terjadi atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan. Dasar hukum penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank dapat ditinjau dari dua segi yaitu segi perbankan dan segi asuransi.

 

Segi perbankan didasarkan ketentuan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UUP). Ketentuan UUP mengaturbahwa bank dalam melakukan pemberian kredit harus melakukan analisis terlebih dahulu, salah satu analisis pemberian kredit adalah analisis jaminan. Ketentuan UUP mengatur bahwa bank dapat melakukan penjaminan kepada pihak ketiga. Bank melakukan penjaminan kepada pihak ketiga merupakan penerapan prinsip kehati-hatian.

 

Segi asuransi didasarkan pada ketentuan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Perasuransian). UU Perasuransian mengatur  bahwa  pihak asuransi dapat melakukan penanggungan atau penjaminan risiko yang mungkin akan diderita tertanggung. Uraian secara rinci dasar hukum penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank dari segi bank dan asuransi dapat diuraikan sebagai berikut:

 

  1. 1.        Bank

 

Bank merupakan  badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkanya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Kredit adalah salah satu  kegiatan bank yang merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

 

Ketentuan Pasal 8 UUP mengatur bahwa bank dalam melaksanakan kegiatan usahanya berupa pemberian kredit, wajib:

(1)     mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan;

(2)     memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BankIndonesia.

 

Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUP bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian pada pihak bank sebagai kreditur yaitu dengan bekerja sacara profesional menganalisis setiap proposal kredit yang diajukan oleh debitur. Bank menyalurkan dana masyarakat dalam kredit atau pembiayaan diprioritaskan kepada koperasi, pengusaha kecil, dan menengah.

 

Ketentuan Pasal 8 dan 29 UUP selanjutnya diatur  lebih lanjut dalam peraturan Bank Indonesia. Pengaturan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

(1)     ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUP mengenai pelaksanaan pemberian kredit di atas maka bank wajib melakukan analisis kredit yang mendalam atas permohonan kredit yang mendalam atas permohonan  kredit yang diajukan oleh calon debitur. Analisis pemberian kredit meliputi penilaian atas watak, kemampuan, modal, agunan (jaminan), dan prospek usaha debitur. Unsur-unsur analisis pemberian  kredit tersebut dikenal dengan sebutan konsep lima C.

(2)     ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUP bank wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan  yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia memberi Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KPB) dengan SK Direksi BI No. 27/162/KEP/DIR. SK Direksi Bank Indonesia tersebut mengatur dan menetapkan kewajiban Bank umum untuk memiliki dan menerapakan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KPB).

(3)     ketentuan Pasal 29 UUP bank wajib memelihara tingkat kesehatan dengan prinsip kehati-hatian selanjutnya di rujuk pada ketentuan Peraturan  Bank Indonesia yaitu Peraturan  BI No. 6/16/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum yang mengatur bahwa bank wajib melaksanakan kegiatan usaha bardasarkan prinsip kehati-hatian dalam rangka menjaga atau meningkatkan tingkat kesehatan bank.

Ketentuan Pasal 8 UUP merupakan dasar pertimbangan pemberian kredit pada bank dilakukan dengan mengacu pada konsep lima C UUP. Salah satu penilaian dari konsep lima C adalah penilaian jaminan (agunan) yang disediakan debitur.

 

Menurut M. Bahsan (2007: 108) jaminan  kredit perbankan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok jaminan yaitu jaminan barang bergerak, jaminan barang tidak bergerak dan jaminan perorangan (penanggung hutang). Jaminan penanggungan hutang ini dapat berupa jaminan pribadi (personal guaranty) dan jaminan perusahaan (company/corporate/guaranty). Hal ini berdasarkan ketentuan Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal penanggungan hutang ini dengan istilah borgtogcht. Penanggungan utang adalah suatu persetujuan yang dibuat seorang pihak ketiga utuk kepentinan pihak pemberi pinjaman dengan mengikatkan dirinya guna memenuhi perikatan pihak peminjam bila pihak peminjam wanprestasi terhadap pihak pemberi pinjaman.

 

Bank dalam melakukan pembiayaan kredit terhadap usaha kecil atau dalam jumlah kecil cenderung tanpa jaminan bahkan tidak ada jaminan. Tidak adanya jaminan dari pihak calon debitur  kemudian dapat dilakukan penjaminan  kepada lembaga penjamin yang dimiliki pemerintah dan/atau swasta yang di atur pada Bab VI Pasal 21 sampai 25 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yamg selanjutnya disebut UU Usaha Kecil. Ketentuan Bab VI Pasal 21 sampai 25 UU Usaha Kecil  mengatur  mengenai pembiayaan dan penjaminan.

 

Ketentuan Pasal 23 UU Usaha Kecil mengatur  bahwa pembiayaan bagi usaha kecil dapat dijamin oleh lembaga penjamin yang dimiliki pemerintah dan atau swasta. Lembaga penjaminan dapat dalam bentuk penjaminan pembiayaan kredit bank, penjaminan pembiayaan bagi hasil, penjaminan pembiayaan lainnya. Penjaminan pembiayaan lainya adalah penjaminan dalam bentuk jaminan perorangan dan jaminan perusahaan (avalis).

 

Ketentuan Pasal 24 UU Usaha Kecil  mengatur bahwa lembaga penjamin yang dimaksud dalam Pasal 23 terdiri atas lembaga penjamin yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan lembaga lainya yang ditetapkan sebagai lembaga penjamin.

 

Dalam praktik terhadap pinjaman tanpa jaminan tersebut bank selanjutnya menjaminkan melalui lembaga asuransi berupa asuransi kerugian. Penjaminan ini terjadi saat bank akan melakukan pencairan dana kepada debitur, bank menjaminkan melalui asuransi kerugian.

 

Dari uraian beberapa ketentuan perundang-undangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi dasar hukum penjaminan melalui asuransi bagi pembiayaan kredit bank dilihat dari segi bank adalah:

(1)     Pasal 8 dan 29 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UUP);

(2)     SK Direksi BI No. 27/162/KEP/DIR yang mengatur dan menetapkan mengenai kewajiban bank umum untuk memiliki dan menerapkan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KPB);

(3)     Peraturan BI No. 6/16/PBI/2004 tentang Sistem  Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum;

(4)     Bab IV Pasal 21 sampai 25 UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

 

Berdasarkan peraturan-peraturan di atas maka bank mempunyai kebijakan menjaminkan pembiayaan kredit tanpa jaminan tersebut kepada pihak asuransi. Kemudian hal ini di tinjau dari segi asuransi sebagai pihak penjamin.

 

  1. 2.        Asuransi

 

PT. Asuransi Takaful mendasarkan legalitasnya pada Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. PT. Asuransi Takaful menjalankan usahanya dengan menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Asuransi Syariah.

 

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (5) UU No.2 Tahun 1992 tentang perasuransian maka Asuransi Takaful Umum adalah perusahaan asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian kehilangan manfaat, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti. Asuransi  Takaful merupakan asuransi syariah yaitu dengan berdasarkan Surat Departemen Keuangan Republik Indonesia Nomor: S-1081/KMK.17/1994 Tanggal 19 Juli 2004 tentang  Persetujuan Prinsip PT Asuransi Takaful Umum .

 

Takaful dalam menjalankan usahanya memiliki beberapa produk asuransi sebagaimana Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 247/KMK/07/1995 tentang Pemberian Izin Usaha di Bidang Asuransi Kerugian kepada PT Asuransi Takaful Umum Tanggal 1 Juni 1995. Salah satu produk asuransi Takaful adalah asuransi kredit yang dalam syariahnya disebut dengan Asuransi Tamwil.

 

Takaful Tamwil adalah asuransi pembiayaan kredit berupa asuransi penjaminan pembiayaan kredit. Tamwil merupakan penutupan pertanggungan atas risiko tidak di terimanya pelunasan kredit dari debitur terhadap pembiayaan kredit yang diberikan oleh bank syariah. Tujuan Takaful Tamwil adalah memberikan jaminan kepada lembaga bank syariah dan atau lembaga keuangan syariah akan kemungkinan risiko tidak terlunasinya pinjaman atas pembiayaan kredit yang disalurkan kepada nasabahnya akibat risiko-risiko yang dijamin oleh kondisi polis Takaful Tamwil.

 

Bank melakukan penjaminan melalui asuransi kerugian dengan cara mengalihkan risiko kepada pihak asuransi berdasarkan prinsip Takaful (prinsip syariah). Penjaminan melalui asuransi kerugian ini didasarkan pada perjanjian sesuai dengan hukum Islam. Penjaminan melalui asuransi kerugian ini terjadi pada saat terjadinya akad (perjanjian) yaitu  pertalian penawaran (ijab) dengan persetujuan (qabul) terhadap suatu objek menurut cara-cara yang sesuai dengan syariah. Akad asuransi Takaful pada dasarnya merupakan suatu konsep akad mudharabah.

 

Dari uraian beberapa ketentuan perundang-undangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi dasar asuransi dapat menjamin pembiayaan kredit  bagi bank dilihat dari segi asuransi adalah:

(1)          Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

(2)          Surat Departemen Keuangan Republik Indonesia S-1081/KMK.17/1994 Tanggal 19 Juli 2004 tentang Persetujuan Prinsip PT Asuransi Takaful Umum;

(3)          Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:  247/KMK/07/1995 tentang Pemberian Izin Usaha di Bidang Asuransi Kerugian kepada PT Asuransi Takaful Umum Tanggal 1 Juni 1995.

 

  1. C.       Syarat dan Prosedur Penjaminan Asuransi Kerugian bagi Pembiayaan Kredit Bank

 

 

Penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank dilakukan oleh bank untuk menjaminkan pembiayaan kredit yang dilakukan  kepada pihak peminjam kepada pihak Asuransi Takaful. Status  para pihak dalam penjaminan asuransi kerugian bagi pembiayan kredit bank ini pihak bank disebut dengan tertanggung, peminjam atau debitur disebut dengan debitur tertanggung, dan Asuransi Takaful adalah penanggung. Permohonan penjaminan yang dilakukan oleh bank kepada pihak asuransi dalam pengajuan permohonanya bank terdapat syarat dan prosedur yang harus dipenuhi oleh bank maupun debitur tertanggung. Syarat dan prosedur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

 

  1. 1.        Syarat Penjaminan Asuransi Kerugian Bagi Pembiayaan Kredit Bank

 

Syarat adalah sebagai tuntutan atau permintaan yang harus dipenuhi. Syarat penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bank untuk mendapat jaminan dari pihak asuransi.

 

Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu Nine sebagai staf administrasi PT. Asuransi Takaful Umum mengenai penjaminan asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit, bank mengajukan permohonan penjaminan asuransi kerugian dengan objeknya adalah pembiayaan kredit yang dilakukan kepada debitur. Dalam permohonan pembiayaan kredit tersebut terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh bank. Secara umum syarat permohonan penjaminan asuransi kerugian tersebut terbagi menjadi dua yaitu syarat penjaminan pembiayaan kredit atas nama perusahaan badan hukum dan permohonan pembiayaan kredit atas nama perorangan. Syarat tersebut secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:

 

  1. a.        Syarat permohonan penjaminan pembiayaan atas nama perusahaan badan hukum

 

 

Syarat permohonan pembiayaan atas nama perusahaan badan hukum merupakan  syarat yang harus dipenuhi oleh calon debitur tertanggung yang pengajuan  pembiayaan kredit dengan atas nama perusahaan badan hukum kepada pihak  bank. Bank sebelum melakukan pencairan terhadap permohonan debitur, bank menjaminkan pembiayaan kredit tersebut kepada pihak asuransi sebagai pihak penanggung pembiayaan kredit apabila debitur tertanggung wanprestasi. Pihak- pihak dalam penjaminan melalui asuransi kerugian ini lebih dikenal dangan pihak bank sebagai pihak tertanggung, debitur sebagai debitur tertanggung dan Asuransi Takaful adalah pihak penanggung. Secara rinci syarat permohonan pembiayaan atas nama perusahaan badan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Permohonan penjaminan pembiayaan atas nama perusahaan badan hukum yang diterima oleh pihak asuransi hanya ditujukan untuk  karyawan tetap perusahaan dengan usia pada saat jangka waktu pembiayaan jatuh tempo tidak melebihi batas usia memasuki persiapan pensiun;
  2. Calon debitur tertanggung atau penerima pembiayaan wajib menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani oleh manager dari perusahaan badan hukum tersebut yang menyatakan:
    1. penerima pembiayaan (calon debitur tertanggung) adalah karyawan dari perusahaan tersebut dengan masa kerja minimal 2 (dua) tahun dan tidak sedang proses PHK;
    2.  menjamin kelancaran pengembalian pembiayaan sampai lunas.
    3. Ketentuan syarat penjaminan untuk pembiayaan yang penggunaanya untuk pembelian rumah dan kendaraan mewah bermotor wajib menyerahkan bukti pemilik kendaraan bermotor dan surat hak milik kepada bank;
    4. Calon debitur tertanggung juga harus menyerahkan surat keterangan dari bendahara yang membayar gaji karyawan (debitur tertanggung) dari perusahaan tersebut yang menyatakan sanggup untuk memotong gaji debitur tertanggung dan menyetor hasil pemotongan gaji kepada bank untuk membayar sampai lunas;
    5. Menyerahkan surat keterangan dari pengurus perusahaan yang menyatakan bahwa perusahaan menjamin kelancaran pembayaran angsuran pengembalian pembiayaan atas nama anggotanya di bank sampai lunas.

 

  1. b.        Syarat permohonan penjaminan pembiayaan atas nama perorangan

 

Syarat permohonan penjaminan pembiayaan atas nama perorangan merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh calon debitur tertanggung yang pengajuan  pembiayaan kredit dengan atas nama perseorangan kepada pihak bank. Secara rinci syarat permohonan pembiayaan atas nama perseorangan tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Debitur tertanggung menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani oleh manager personalia perusahaan badan hukum tempat debitur tertanggung bekerja yang menyatakan bahwa:
    1. pemohon adalah benar merupakan karyawan tetap dengan masa kerja minimal 2 (dua) tahun sejak terbit SK karyawan tetap;
    2. menjamin kelancaran pengembalian pembiayaan sampai lunas menjamin pelunasan pembiayaan sebesar 100% dari sisa kewajiban yang bersumber taspen/astek, THT, pesangon, uang penghargaan kerja, uang penggantian hak yang akan diterima/hak-hak lain yang akan diterima jika terjadi PHK, pensiun, mengundurkan diri.
    3. Permohonan penjaminan asuransi kerugian juga harus menyertakan surat dari calon debitur tertanggung  yang menyatakan bahwa:
      1. memberi kuasa kepada bendahara gaji untuk memotong gaji sebesar angsuran tiap bulan untuk pembayaran cicilan pembiayaan, hingga lunas (surat kuasa potongan gaji)
      2. memberi hak pengalihan hak kepada bank atas hak preference yang akan diterima (taspen astek, THT, pesangon, uang penghargaan kerja, uang penggantian hak yang akan diterima/ hak hak lain yang akan diterima) jika terjadi PHK, mengundurkan diri, pensiun.

 

 

 

 

  1. 2.        Prosedur penjaminan pada Asuransi Kerugian Bagi Pembiayaan Kredit

       Bank

 

 

Prosedur adalah merupakan tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu  aktivitas. Prosedur penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank ini adalah sebuah tahapan-tahapan untuk melakukan penjaminan oleh asuransi bagi pembiayaan kredit bank. Terjadinya penjaminan asuransi kerugian ini setelah terjadi kesepakatan antara tertanggung dan penanggung. Prosedur penjaminan secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:

 

  1. Pengajuan dan aplikasi

 

 

Pihak bank dengan prinsip syariah melakukan pembiayaan kredit kepada debitur sesuai dengan pengajuan pembiayaan kredit yang dimohonkan debitur kepada bank. Bank mangeluarkan surat penegasan persetujuan pembiayaan (SP3) kepada debitur yang memuat mengenai perihal perjanjian pembiayaan kredit antara bank dan debitur. SP3 berisi persetujuan bank terhadap permohonan debitur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi debitur atas pembiayaan yang diajukan.  Secara rinci  SP3 berisi sebagai berikut.

(1)      Tanggal dan nomor surat;

(2)     Nama dan alamat debitur;

(3)     Perihal surat;

(4)     Struktur pembiayaan yang memuat

  1. Fasilitas;
  2. Jaminan;
  3. Biaya-biaya;

(5)     Syarat penandatanganan akad pembiayaan;

(6)     Syarat pencairan pembiayaan ;

(7)     Syarat-syarat lain.

 

  1. Pengajuan surat permohonan

 

 

Bank setelah memberikan surat SP3 kepada debitur maka bank selanjutnya mengajukan surat permohonan penjaminan pembiayaan (tamwil) atas nama debitur kepada pihak pimpinan kepala PT. Asuransi Takaful umum. Surat permohonan penjaminan pembiayaan (tamwil) berisi mengenai:

(1)     Tanggal dan nomor surat;

(2)     Nama dan alamat penanggung;

(3)     Perihal surat;

(4)     Nama dan alamat debitur;

(5)     Plafond  pembiayaan dan jangka waktu pembiayaan;

(6)     dan dengan melampirkan kartu identiatas debitur dan SP3.

 

  1. Pengiriman internal memo

 

 

Asuransi Takaful Umum setelah menerima pengajuan surat permohonan penjaminan pembiayaan (tamwil) dari bank selanjutnya Asuransi Takaful Umum mengirim internal memo kepada manager Asuransi Takaful Umum Pusat. Memo internal tersebut  adalah pemberitahuan kepada Asuransi Takaful Umum Pusat bahwa ada permohonan penjaminan pembiayaan (tamwil) yang diajukan oleh bank. Memo internal tersebut berisi:

(1)     Perihal permohonan (tamwil);

(2)     Nama  bank (debitur) dan debitur (debitur tertanggung);

(3)     Nilai pembiayaan kredit;

(4)     Jangka waktu pembiayaan serta melampirkan SP3.

 

  1. Analisis dan persetujuan permohonan

 

 

Manager Asuransi Takaful Umum Pusat melakukan analisis internal memo yang berisi permohonan tamwil, selanjutnya mengirim persetujuan tamwil kepada Asuransi Takaful Umum Lampung. Persetujuan  tamwil mengenai penerbitan Surat Persetujuan Prinsip Permohonan Asuransi (SP3A) yang didalamnya mengatur  kondisi/syarat yang harus dipenuhi oleh tertanggung yang ditetapkan oleh Asuransi Takaful Umum Pusat dan penerbitan polis.

 

  1. Penerbitan SP3A

 

 

Asuransi Takaful Umum  cabang Lampung menerbitkan SP3A atas nama debitur tertanggung kepada bank. SP3A tersebut sesuai dengan persetujuan yang di tetapkan Asuransi Takaful Umum Pusat dalam internal memo yang berisi:

(1)     Nama penanggung;

(2)     Tempat dan tanggal;

(3)     Perihal surat;

(4)     Ketentuan pihak-pihak dalam asuransi;

(5)     Besarnya penanggungan;

(6)     Jangka waktu;

(7)     Premi;

(8)     Warantty;

(9)     dan syarat-syarat yang harus dilengkapi oleh bank.

 

  1. Pemeriksaan kelayakan dokumen

 

 

Bank melengkapi syarat-syarat yang harus dipenuhi dan mengirimkan syarat-syarat kepada pihak asuransi yang disertai pernyataan persetujuan SP3A. Asuransi Takaful Umum selanjutnya memeriksa kembali kelayakan dokumen bank sebagai calon tertanggung.

 

  1. Penerbitan polis

 

 

Asuransi Takaful Umum setelah memeriksa kelayakan dokumen selanjutnya menerbitkan polis yang diberikan kepada pihak bank sebagai dokumen penjaminan asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank oleh Asuransi Takaful Umum Lampung. Secara rinci isi polis memuat:

(1)     Nama penanggung dan nomor polis;

(2)     Nama dan alamat tertanggung;

(3)     Jumlah pembiayaan kredit;

(4)     Jangka waktu pertanggungan;

(5)     Jenis/skim pembiayaan kredit;

(6)     Pihak-pihak;

(7)     Objek asuransi;

(8)     Wilayah;

(9)     Pengungkapan fakta;

(10) Pembayaran premi;

(11) Syarat-syarat berlakunya pertanggungan;

(12) Mulai dan berakhirnya risiko;

(13) Risiko kerugian yang dijamin;

(14) Kewajiban tertanggung;

(15) Biaya asuransi;

(16) Besarnya pencairan pertanggungan kredit;

(17) Timbulnya hak tertanggung untuk mengajukan pencairan pertanggungan;

(18) Dokumen pendukung klaim;

(19) Batalnya hak tertanggung atas kerugian;

(20) Subrogasi;

(21) Recoveries;

(22) Mata uang;

(23) Perselisihan;

(24) Penutup dan endorsemen.

 

Polis merupakan hasil perjanjian asuransi yang dibuat secara tertulis dalam bentuk akta. Polis sebagai bukti tertulis yang menyatakan bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung. Sebagai bukti tertulis isi polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi, sehingga mempersulit tertanggung dan penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan asuransi.  Bentuk polis dibuat mengacu pada ketentuan Pasal 225 KUHD.

 

 

 

 

 

 

  1. D.      Proses Penyelesaian Klaim Asuransi Kerugian Bagi Pembiayaan Kredit Bank

 

 

Penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank merupakan penjaminan yang dilakukan oleh bank kepada pihak ketiga yaitu asuransi kerugian. Penjaminan ini bertujuan bila debitur wanprestasi maka bank dapat mengajukan klaim kepada asuransi sebagai penanggung pembiayaan kredit bank atas nama debitur. Hak klaim dapat diajukan oleh bank pada beberapa kondisi.

 

Berdasarkan  ketentuan Surat Persetujuan Prinsip Permohonan Asuransi yang selanjutnya disebut SP3A dan wawancara kepada Ibu Maslia sebagai staf claim  Asuransi Takaful Umum cabang Lampung maka hak klaim dapat timbul setelah atau sebelum perjanjian pembiayaan jatuh tempo. Berdasarkan ketentuan SP3A Nomor 10 huruf (b) mengatur mengenai hak klaim menjelaskan bahwa hak klaim dapat timbul setelah perjanjian pembiayaan jatuh tempo apabila terjadi tunggakan pokok pembiayaan, margin pembiayaan, bagi hasil dan biaya-biaya lain yang timbul setelah jangka waktu pembiayaan berakhir atau jatuh tempo dan tidak dapat diperpanjang lagi.

 

Ketentuan SP3A Nomor 10 huruf (c)  mengatur secara rinci hak klaim dapat dapat timbul sebelum perjanjian pembiayaan jatuh tempo apabila macet karena:

  1. Anggota nasabah meninggal dunia (tidak termasuk meninggal akibat  bunuh diri);
  2. Anggota nasabah peserta terkena PHK (tidak termasuk PHK akibat tindakan kriminal dan PHK massal. PHK massal yaitu pemutusan hubungan kerja terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja atau lebih pada satu perusahaan dalam bulan atau terjadi rentetan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran) termasuk akibat perubahan, penggabungan, peleburan, perubahan kepemilikan perusahaan, penutupan perusahaan, pailit, relokasi.

 

Ketentuan Nomor 10 huruf (d) mengatur  bahwa hak klaim dapat dilakukan untuk pembiayaan macet karena:

  1. Meninggal dunia, timbul pada saat anggota nasabah peserta dinyatakan meninggal dunia;
  2. Terkena PHK, timbul pada saat kolektibilitas pembiayaan dikategorikan “diragukan”/ kolektibilitas 4 (sesuai ketentuan Bank Indonesia).

 

Berdasarkan ketentuan Nomor 10 huruf (d) SP3A maka hak klaim dapat diajukan oleh pihak bank apabila pembiayaan tersebut macet yang disebabkan debitur tertanggung atau peminjam meninggal dunia atau  terkena PHK  yang menyebabkan pembiayaan dikategorikan “diragukan”/kolektibiklitas (sesuai ketentuan Bank Indonesia).

 

Ketentuan Nomor 10 huruf (e) SP3A mengatur Hak klaim dapat dilakukan oleh peserta bank dengan mengajukan klaim kepada Asuransi Takaful Umum dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak timbul hak klaim. Apabila dalam jangka waktu yang dimaksud telah lewat dan peserta belum mengajukan klaim, maka hak klaim gugur.

 

Pengajuan hak klaim dapat timbul dalam kondisi-kondisi tertentu. Dalam pengajuan klaim tersebut terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh tertanggung. Ketentuan Nomor 10 huruf (f) SP3A mengatur mengenai surat pengajuan klaim yang menjelaskan bahwa pengajuan klaim harus dilampiri dengan:

  1. Fotokopi ikhtisar manfaat Takaful yang bersangkutan;
  2. Fotokopi perjanjian pembiayaan antara peserta dan nasabah peserta;
  3. Berita acara tunggakan yang memuat perhitungan jumlah tunggakan pembiayaan oleh nasabah peserta yang ditandatangani oleh peserta;
  4. Fotokopi rekening pembiayaan saat pengajuan klaim atau pada saat pembiayaan jatuh tempo.

 

Ketentuan Nomor 10 huruf (f) angka (5) SP3A mengatur bahwa permohonan klaim pada kondisi klaim karena debitur tertanggung meninggal dunia maka harus mencantumkan sebagai berikut.

  1. Surat keterangan meninggal dunia dari pemerintah daerah setempat, minimal dari kelurahan (asli atau fotokopi yang telah dilegalisir);
  2. Surat keterangan kematian dari kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konsualat Jendral Republik Indonesia (KJRI) apabila anggota nasabah peserta meninggal di luar negara Republik Indonesia (asli);
  3. Surat keterangan meninggal dunia yang menjelaskan secara terinci sebab anggota nasabah peserta meninggal dunia dari dokter/RS yang merawat (form disediakan PT. Asuransi Takaful Umum);
  4. Fotokopi akta atau surat kematian dari dokter atau rumah sakit;
  5. Daftar pertanyaan untuk klaim meninggal dunia yang diisi oleh ahli waris (form disediakan PT. Asuransi Takaful Umum);
  6. Surat keterangan mengenai sebab kecelakaan dari kepolisian (bila meninggal karena kecelakaan);

ketentuan Nomor 10 huruf (f) angka (5) SP3A mengatur mengenai apabila klaim dilakukan karena debitur tertanggung terkena PHK maka pengajuan klaim harus melampirkan Surat keterangan PHK dari instansi/ perusahaan dimana anggota nasabah peserta bekerja.

 

Prosedur penyelesaian klaim dilakukan tertanggung dengan mengajukan klaim kepada Asuransi Takaful Umum. Asuransi Takaful Umum  selanjutnya mengeluarkan surat persetujuan klaim tamwil. Surat  persetujuan  klaim berisi analisa data polis, analisis sebab klaim analisis dokumen klaim dan rekomendasi pencairan pertanggungan pembiayaan kredit. Klaim yang dapat diajukan oleh peserta sebesar jumlah kerugian dikalikan dengan persentase coverage manfaat Takaful tamwil dengan batas setinggi-tingginya sebesar pembiayaan yang direalisir dikalikan dengan prosentase coverage manfaat Takaful tamwil.

 

Berdasarkan ketentuan Nomor 11 SP3A tentang keputusan klaim pada huruf (a) mengatur bahwa Takaful memberi keputusan atas klaim yang diajukan oleh pihak peserta dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak berkas pengajuan  klaim diterima secara lengkap oleh Asuransi Takaful Umum. Ketentuan huruf (b) mengatur Asuransi Takaful Umumr bahwa bila pengajuan klaim disetujui, maka Asuransi Takaful Umum menyampaikan surat persetujuan klaim kepada peserta yang memuat:

  1. jumlah klaim yang diajuakan oleh peserta;
  2. jumlah klaim yang akan dibayar oleh PT. Asuransi Takaful Umum.

 

Bila pengajuan ditolak, maka Asuransi Takaful Umum menyampaikan surat penolakan klaim kepada peserta dengan menyatakan alasan penolakan. Apabila jangka waktu 30 hari terhitung sejak berkas pengajuan  klaim di terima secara lengkap oleh Asuransi Takaful Umum telah berakhir sedangkan Asuransi Takaful Umum belum memberikan keputusan klaim, maka klaim dinyatakan telah disetujui oleh Asuransi Takaful Umum dan asuransi takaful umum harus segera menerbitkan Surat Persetujuan Klaim kepada Peserta.

 

Ketentuan Nomor 11 huruf (e) mengatur mengenai pembayaran klaim yang menjelaskan bahwa PT. Asuransi Takaful Umum melakukan pembayaran sebesar jumlah klaim yang disetujui dalam Surat Persetujuan Klaim dalam waktu paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal Surat Persetujuan Klaim (SPK) kepada peserta.

 

Berdasarkan klusula penerapan akad yang dilakukan oleh asuransi Takaful dan bank penjaminan melalui asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank berakhir dengan:

(1)     Jangka waktu penjaminan telah berakhir;

(2)     Klaim pihak tertanggung kepada penanggung.

 

Berdasarkan klausula penerapan akad dalam polis  apabila tertanggung tidak pernah menerima pembayaran klaim atau tidak sedang mengajukan klaim dan tidak membatalkan polis maka tertanggung berhak mendapatkan bagi hasil (mudharabah). Besarnya bagi hasil yang diterima sangat bergantung pada nilai keuntungan perusahaan.

 

 

 

 

V. PENUTUP

 

 

 

 

  1. A.       Kesimpulan

 

 

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Penjaminan melalui  asuransi kerugian bagi pembiayaan kredit bank memiliki dasar hukum baik dari segi perbankan maupun dari segi asuransi. Ketentuan perbankan memberikan dasar hukum tersebut melalui ketentuan Undang-Undang Perbankan, SK Direksi BI No. 27/162/KEP/DIR, Peraturan BI No. 6/16/PBI/2004, dan Undang-Undang Usaha Kecil. Sedangkan dari segi asuransi adalah Undang-Undang Perasuransian, Surat Departemen Keuangan Republik Indonesia S-1081/KMK.17/1994, dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 247/KMK/07/1995;
  2. Penjaminan dilakukan oleh Takaful kepada setiap pelaksanaan pembiayaan kredit bank jika memenuhi syarat dan mengikuti prosedur yang telah ditentukan. Syarat penjaminan terbagi menjadi dua yaitu penjaminan  atas nama perusahaan badan hukum dan atas nama perorangan. Setelah syarat tersebut terpenuhi selanjutnya melalui prosedur yaitu dengan pengajuan aplikasi, Pengajuan surat permohonan oleh bank, pengiriman internal memo dari Asuransi Takaful Umum Lampung kepada Asuransi Takaful Umum Pusat, analisis dan persetujuan permohonan, penerbitan surat persetujuan permohonan penutupan asuransi (SP3A), pemeriksaan kelayakan dokumen, dan penerbitan polis;
  3. Bank mempunyai hak klaim kepada Takaful apabila pembiayaan kredit mengalami macet. Proses penyelesaian klaim dilakukan bank dengan mengajukan klaim kepada Asuransi Takaful Umum. Asuransi Takaful Umum selanjutnya mengeluarkan surat persetujuan klaim tamwil, analisis dokumen klaim dan rekomendasi pencairan pertanggungan pembiayaan kredit.

 

  1. B.       Saran

 

 

Kegiatan penjaminan melalui asuransi kerugian yang dilakukan oleh bank sebagai tertanggung dan asuransi sebagai penanggung membuat kedua jenis perusahaan ini saling menopang dan membantu dalam pengembangan kegiatan ekonomi. PT. Asuransi Takaful Umum sebagai salah satu lembaga asuransi yang melakukan penjaminan bagi pembiayaan kredit bank diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan dan perananya kepada seluruh lembaga yang melakukan pembiayaan kredit sehingga  masyarakat mampu meningkatkan perekonomianya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A. BUKU

 

 

Bahsan M. 2007. Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. PT. Raja

Gravindo Persada,Jakarta.

 

Dewi Gemala, Perwaataatmadja A. karmaen, Wirdyaningsih, Yenni Salam Barlinti. 2005.

Bank Dan Asuransi Islam DI Indonesia. Prenada Media,Jakarta.

 

Djumhana, Muhammad. 2003. Hukum Perbankan. Citra Aditya Bakti,Bandung.

 

Muhammad, Abdulkadir. 2002. Hukum Asuransi Indonesia. Citra Aditya Bakti,Bandung.

 

________________. 2004. Hukum Dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti,Bandung.

 

________________. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Citra Aditya Bakti,Bandung.

 

Muhammad Abdulkadir, dan Rilda Murniati. 2004. Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan. Citra Aditya Bakti,Bandung.

 

Perwataatmadja A. Karnaen. 2007. Bank Syariah Teori, Praktik, dan Perananya. Celestial Publishing,Jakarta.

 

 

Syamsiar, Ratna. 2006. Hukum Perbankan. Universitas Lampung. Bandar  Lampung.

 

Soedewi, Sri. 1980. Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan

            Perorangan. Libertty Offset Yokyakarta.

 

 

 

B. SUMBER UNDANG-UNDANG

 

 

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Lembaran Negara Nomor 20 Tahun 1971)

 

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467)

 

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 )

 

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3611)

 

 

C. SUMBER WEB SITE

 

 

www.google.co.id kata kunci “jaminan pembiayaan kredit bank

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sindrom dyspepsia, atau yang lebih dikenal sebagai sakit maag, sering jadi keluhan utama. Selain faktor stres, pemilihan makanan sangat mempengaruhi keluhan sakit tukak lambung ini. Berikut ini panduan menu bagi penderita maag, terutama yang akut.

1. Konsumsilah roti tawar, bubur ayam, susu dan jus buah yang tidak asam, untuk sarapan pagi. Hindari sarapan berat seperti nasi uduk, nasi atau mi goreng.

2. Setiba ditempat kerja, jangan langsung minum kopi. Sebaiknya, makanlah kudapan ringan seperti roti tawar, kue, buah, atau teh hangat. Camilan ini membantu Anda agar tidak keburu lapar menunggu makan siang tiba.

3. Saat makan siang, penderita sakit maag boleh mengkonsumsi makanan berat, seperti nasi dan sayuran. Tapi, tidak dianjurkan mengonsumsi makanan yang mengandung santan atau gorengan.

4. Sekitar pukul 15.00, makanlah kue atau makanan kering. Jangan pilih cokelat. Jika ingin makan cokelat, pastikan

perut sudah terisi terlebih dulu.

5. Jangan lewatkan makan malam Anda. Sebelum tidur, penderita maag terutama yang tahap berat, dianjurkan minum susu atau makan roti secukupnya.

Sumber : SuaraMerdeka

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.